Kalau di tulisan Kilas Balik sebelumnya gue ngebahas soal kunjungan ke beberapa situs musik penting di Belanda, yang memang dengan berbagai alasan pribadi sudah berada di daftar paling atas sebagai tempat wajib kunjung, Prancis ternyata banyak memberikan kejutan tak terduga. Keseruannya hampir sama persis, perbedaannya hanya di sejumlah hal esensial saja.
Hanya sekian waktu sebelum pandemi datang, tepatnya di bulan November tahun 2019, gue mendapat kesempatan lagi untuk datang ke Prancis. Kali ini waktunya lebih santai meskipun tidak panjang, berlibur saja tanpa ada embel-embel pekerjaan. Perasaannya fleksibel untuk mengejar sejumlah band favorit serta mengunjungi beberapa teman.
Menjelang keberangkatan, gue sudah melihat jadwal tur dari siapa saja yang akan main di Paris. Akhirnya pilihan jatuh untuk menonton Conan, grup doom metal paling berat dari Liverpool, yang sedang menjalani rangkaian Cold Blackened Violence Tour berkeliling Eropa. Ada juga Bruit, kuartet noise rock terbaik Prancis yang menjadikan Paris sebagai salah satu titik tampilnya dalam Europe Tour 2019.
(Dokumen Yulio Piston)
Tiba di Paris tanggal 14 November dengan itinerary yang paten. Agenda pertama adalah menyaksikan Conan langsung keesokan harinya. Mereka akan tampil di Gibus, sebuah klub yang juga menjadi salah satu venue klasik dari medio 1990-an bagi jenis musik arus pinggir. Dari Sepultura, Exploited, Municipal Waste, sampai Sick Of It All pernah tampil di sini.
Conan tampil menggelegar selayaknya band doom yang sangat memahami musik tersebut sampai ke akar-akarnya. Trio Jon Davis, Chris Fielding dan Johnny King menggetarkan seisi klub dan penonton yang sudah terlalu banyak menenggak Pelforth juga tak lagi malu untuk headbang di sepanjang repertoar. Menyaksikan Conan hanya satu hari setelah tiba sebetulnya ide buruk, kepala yang masih jetlag dihajar distorsi super tebal, efek pusingnya semakin memukul dan bertahan sampai dua hari ke depan.
Setelah tidur malam yang kurang nyenyak, gue bangun agak terlambat sampai hampir pukul 11 siang. Dua teman, Medi, manajer band Hangman's Chair dan salah satu pendiri booking agent Dead Pig Entertainment, bersama Vidur, physical records enthusiast, sudah menunggu di La French Guinguette untuk makan siang. Setelah berbincang cukup lama, kami bertiga memutuskan untuk melihat-lihat sebentar ke Born Bad Records.
(Dokumen Yulio Piston)
Sayangnya, saat itu Born Bad Records penuh sesak, entah mengapa, diskon black friday mungkin. Kami nggak jadi masuk dan Vidur yang khatam betul seluk beluk record store terbaik di Paris kemudian mengajak pindah ke Music Fear Satan. Meski berukuran tidak terlalu besar, katalog toko ini ternyata sangat variatif dengan bermacam format. Kalap jajan rock hingga sore hari sambil berbincang panjang lebar dengan Nicolas si pemilik.
Trip ini memang singkat. Mengingat rapatnya agenda, setiap harinya harus dimanfaatkan dengan cerdik. Pasangan kekasih yang esoknya sudah berjanji akan mengajak gue berkeliling studio mereka adalah Gaspard dan Amy dari Arrache Toi Un Oeil. Keduanya memiliki unit usaha sablon poster bagi band-band ternama.
(Dokumen Yulio Piston)
Dari hotel tempat menginap menuju kawasan Chemin Vert, studio mereka, memakan waktu sekitar 40 menit. Gaspard yang sudah menunggu di pintu keluar Metro, dengan sumringah langsung menggiring gue ke tujuan. Sesampainya di sana, Amy sudah menunggu sambil memberikan pelukan hangat dan segelas teh panas karena hari masih pagi.
Mata langsung terkagum-kagum melihat deretan koleksi keduanya. Dari poster Melvins, Blood Incantation, Oranssi Pazuzu, Alvvays, Kikagaku Moyo, Converge, DIIV, dan lain-lain, terpajang besar-besar. Nggak cuma itu, yang lebih menarik gue diajak juga berkeliling ke satu bagian di dalam gedung saat mereka merampungkan pesanan dari seluruh dunia. Setelah melepas rindu karena sudah cukup lama tidak bertemu lalu makan siang, apero di pinggiran Sungai Seine sampai makan malam, gue kembali ke hotel karena tidak ingin kelelahan.
Setelah badan mulai stabil, hari berikutnya gue merasa akan klimaks karena malam nanti akan menonton Bruit di Supersonic Club, gedung tiga lantai berskala medium di kawasan Rue Biscornet. Mencengangkannya Supersonic adalah mereka juga memiliki sebuah record store dengan koleksi mumpuni. Sedikit mengingatkan gue ketika dulu masih ada Grieve Records di Rossi Music Fatmawati, Jakarta.
Malam dibuka oleh Maven, grup eksperimental setempat, akamsi dengan kualitas papan atas. Kemudian Polymath naik pentas, unit math rock yang sedang menjalankan tur Eropa berhasil membuat gue menganga kagum. Bagaimana bisa musik yang begitu rumit disajikan dengan rasa tanpa tendensi apa-apa. Luar biasa memang.
Lalu yang ditunggu-tunggu. Benar saja, Bruit membayar lunas perjalanan panjang ini. Set yang begitu intens tanpa banyak basa-basi selayaknya band instrumental, membuat gue bergidik kagum. Nomor-nomor panjang dari album Monolith dibawakan plus kerlap kerlip strobo menambah haru malam itu. Sepanjang jalan pulang masih terngiang betapa menggetarkannya Bruit dengan dua telinga yang tentu saja pekak.
(Dokumen Yulio Piston)
Jadwal terakhir di Paris gue habiskan untuk berburu New Noise. Sebuah majalah yang mengulas banyak band-band favorit gue. Tapi, majalah yang memang selalu dicetak dalam jumlah terbatas ini memang sulit didapatkan. Akhirnya harus kasak-kusuk ke sejumlah tempat, hingga kemudian gue memutuskan untuk kembali lagi ke Born Bad Records. Jodoh memang tidak ke mana, mereka masih memiliki sisa dari dua edisi terdahulu yang tanpa pikir panjang langsung gue tebus dan bawa pulang.
Image source: Shutterstock
Please choose one of our links :