Oleh Yulio Piston
Udara di venue sempit tersebut terasa begitu pengap. Kombinasi antara bau keringat para penonton dan aroma bir khas Jerman yang membuat seisi ruangan kian tengik. Meski demikian, kami semua sudah siap headbanging sampai leher mati rasa sambil menyanyikan lagu-lagu bertema nihilis.
“Eyehategod! Eyehategod! Eyehategod! Eyehategod!”
Lighting yang tidak pernah berganti warna dan terus menyilaukan hijaunya, tiba-tiba mulai berkelap-kelip berbarengan dengan dua smoke gun yang menyemburkankan penuh asapnya.
Bunyi feedback gitar memekak sesegera dan disambung suara drum seruntulan menandai masuknya lagu Lack of Almost Everything, anthem dari album klasik Dopesick. Gue yang sudah menunggu lama akan datangnya kesempatan ini, tanpa ragu langsung terjun ke moshpit.
___
Superfriends, di awal tahun 2018 silam, gue cukup tercengang ketika sedang membuka Facebook dan melihat poster dari salah satu band favorit sepanjang masa, Eyehategod, yang mengumumkan jadwal tur musim panas di Eropa. Rangkaian ini digelar untuk memperingati tiga puluh tahun hari jadi mereka. Sebuah momen bersejarah tentunya apabila bisa hadir ke salah satu titik. Namun, biaya yang dikeluarkan juga tidak kalah berat saat itu.
Setelah mengecek rekening dan meninjau proyeksi berapa pundi-pundi yang dapat terkumpul dalam kurun waktu 4 bulan ke depan, saya akhirnya membulatkan niat untuk pergi. “Let’s do it, it’s fukkin Eyehategod!,”pikir saya dalam hati. Yang berikutnya dilakukan adalah mencari informasi tentang show di kota mana yang biayanya paling murah untuk didatangi, termasuk tiket pesawat, akomodasi dan lain-lainnya. Eyehategod berkeliling ke banyak tempat memang, dari Swedia, Prancis, Austria, Inggris Raya, Swiss, Italia sampai Jerman.
Kemudian sambil scrolling media sosial, gue juga mencoba mengingat kembali siapa saja kerabat yang sedang menetap di Eropa dan kediamannya bisa ditumpangi sebentar. Lalu gue melihat satu unggahan di Instagram milik Arvi, salah satu sahabat di sekolah dasar dulu, sedang menonton pertandingan klub sepak bola Bayern Munchen di markas mereka langung. Meski terbilang akrab saat kecil karena sama-sama pemain inti tim sepak bola di sekolah, tapi rasanya terakhir kali berbincang dengan dia sudah cukup lama, sekitar 2-3 tahun sebelumnya mungkin, itupun hanya sekedar bertukar kabar saja. Dan yang gue tahu, Arvi pindah ke Australia untuk kuliah di tahun 2014.
“Seru banget nonton Bayern, lo di Jerman sekarang ya?” tulis saya di kolom komentarnya. “Iya Yul, udah setahun gue pindah ke Munchen. Main-main lah.” “Wah serius lo? cek japri Vi!” langsung gue sambar tawarannya tanpa ragu. Meski mungkin basa-basi, gue cuek menanyakan kemungkinan untuk menumpang saja terlebih dahulu, Superfriends.
Setelah lanjut mengobrol, Arvi mengiyakan pertanyaan gue apakah boleh menginap di tempatnya selama berada di Munchen nanti untuk menonton Eyehategod. Santai saja katanya. Malah gue disuruh menetap lebih lama dari rencana awal, hanya lima hari, dan diajak menemaninya untuk bertemu dengan keluarga dari Maude, pacarnya yang cantik, di Ingolstadt.
Setelah keperluan akomodasi teratasi, gue segera membeli tiket Eyehategod di Munchen karena takut kehabisan, sebab acaranya akan digelar di Backstage, sebuah gedung pertunjukan dengan kapasitas tidak lebih dari 500 orang. Suasana intens langsung terbayang di kepala setelah tiket tersebut masuk ke email gue.
Demi mendapatkan uang ekstra agar secepatnya bisa membeli tiket pesawat, saya harus mengambil beberapa pekerjaan sampingan dengan deadline yang tidak karuan. But fu*k it, I’ll do anything to get my ass to Munich!
Waktu pun bergulir tidak terasa hingga awal April, satu bulan menuju keberangkatan. Uang sudah terkumpul dan tiket pesawat juga berhasil diamankan. Terakhir yang harus dilakukan adalah mengurus visa. Meski bukan kali pertama ke Eropa, tapi di beberapa kesempatan sebelumnya visa Schengen saya selalu berlaku sebentar, hanya sekitar 14-30 hari di tiap kunjungan. Namun kali ini, keberuntungan itu datang lagi. Saya yang sudah membuat jadwal appointment dan mengumpulkan berkas, pergi ke VFS di Mall Kuningan City untuk melakukan wawancara dan tes biometric. Saya maju ke counter saat nomor antrian dipanggil. Duduk berhadapan dengan petugas memang selalu menegangkan, apalagi kali ini keperluannya hanya untuk menonton Eyehategod, bukan Coldplay, yang saya yakin tidak ada yang tahu di ruangan tersebut.
“Wah mau tur nih mas ke Eropa?” ujar salah satu petugas. “Oh engga mas, mau jalan jalan saja,” jawab saya. “Ngga usah interview mas, ini dokumennya udah aman semua, langsung ke ruangan biometric aja ya,” bilangnya. Gue cukup kaget, loh kok tumben seperti ini. Melihat wajah gue yang keheranan, ia menjelaskan, “Saya nonton mas tahun lalu pas Piston bikin launching party di Rossi, masih ada juga tuh cd-nya di rumah waktu itu beli di Lawless, nanti pas ambil paspor lagi minggu depan sekalian tanda tangan boleh mas?” tambahnya. Wah, saya tentu kegirangan.
Siapalah kami sebetulnya, levelnya masih jauh sekali di bawah Slank, SID, Seringai dan lain-lain yang mungkin sering mendapatkan kehokian seperti ini, tapi ya disyukuri saja. “Wah siap mas, thank you ya,” jawab gue masih keheranan. “Gapapa mas santai, nanti saya bantu supaya Schengen-nya dapat lima tahun juga ya,” tutupnya menyudahi percakapan karena antrian cukup ramai siang itu.
Benar saja, dua minggu kemudian saat kembali ke VFS untuk mengambil paspor, visa Schengen di dalamnya berlaku hingga lima tahun sampai 2023. Sayangnya, saya tidak bertemu lagi dengan petugas tersebut untuk mengucapkan terima kasih banyak.
Singkatnya, gue pun berada di Bandara Soekarno Hatta pada tanggal 5 Mei dan bersiap melakukan perjalanan selama 16 jam, termasuk transit 3 jam di Dubai, sebelum sampai di Munchen. Melelahkan memang, tapi rasa tersebut akan sebanding dengan menyaksikan Eyehategod tanggal 7 Mei nanti. Sesampainya di Franz Josef Strauss International Airport, Arvi datang menjemput dan memberikan pelukan hangat. Lama memang tidak bertemu orang ini, mungkin terakhir di tahun 2011 atau 2012.
Dia mengajak gue langsung ke Bratwurstherzl, restoran dengan menu khas Bavaria. Mashed potato dengan dua weisswurst sebesar pentungan satpam dan gelas bir Paulaner seukuran kepala bayi langsung gue tandaskan karena lapar total. Kami juga membahas cerita-cerita seru yang terjadi dulu sebelum pulang ke apartemennya di dekat area Marienplatz.
Paginya, Arvi harus bekerja, jadi dia tidak bisa menemani gue berkeliling Munchen. Tak masalah. Gue lalu berkeliling seorang diri untuk mendatangi sejumlah tempat yang memang sudah ada di dalam daftar kunjung. Dari stadion Allianz Arena, beberapa record store seperti Optimal Records dan Black Wave Records, sampai mencicipi macam-macam jenis bir di Viktualienmarkt. Setelah cukup sempoyongan, gue memutuskan untuk kembali ke apartemen Arvi dan beristirahat karena tidak ingin kelelahan.
___
(Dok. Supermusic)
Kembali ke konser, merinding tidak tertahankan ketika berada di pit Eyehategod untuk pertama kalinya. Memang suasananya tidak terlalu brutal karena mereka adalah band sludge metal, hasil hibrida dari doom metal dan hardcore punk. Itulah mengapa penonton di konser Eyehategod cukup beragam. Di satu sudut kalian dapat menemukan orang dengan t-shirt Black Sabbath, di sudut yang lainnya tidak kecil kemungkinan melihat orang-orang dengan t-shirt Discharge atau Cro-Mags.
Parish Motel Sickness dan Blank kemudian dimainkan secara berurutan. Headbanging langsung tiada henti. Soundtrack yang selalu dipasang di berbagai sesi mabuk selama bertahun-tahun akhirnya terdengar langsung dari amplifier Jimmy Bower, sang gitaris tinggi besar bak makhluk rawa dengan ciri khas sound gurih pula bising.
(Dok. Supermusic)
Meski tanpa Joe LaCaze yang meninggal di tahun 2013 lalu, drummer Aaron Hill menjaga tempo permainan Eyehategod dengan sangat kokoh. Mantan anggota Gasmiasma dan Mountain of Wizard ini benar-benar sukses menyita perhatian dengan permainannya.
Lagu-lagu legendaris seperti Agitation! Propaganda!, Sisterfucker Part 1-Part 2, White Nigger, dan Take as Needed for Pain tak lupa dihadirkan sehingga membuat pertunjukan menjadi semakin riuh tidak terkendali. Benar-benar seru.
(Dok. Supermusic)
Ada Gary Mader di sana, salah satu bassist idola sepanjang masa. Anyway, gue berteman, dengan Gary di Facebook. Gue sempat mengirim pesan kalau akan terbang jauh ke Jerman dari Indonesia demi Eyehategod. “No way! Incredible... I look forward to meeting you,” jawabnya waktu itu. Dan akhirnya terjadi, melihat langsung stiker legendaris bertuliskan ‘This Is NOLA, NOT LA’ yang tertempel di bass miliknya.
Yang paling mengharukan tentunya bisa menyaksikan kembali Mike IX Williams tampil di panggung. Sekitar tahun 2016 atau 2017 lalu, Mike harus menghentikan seluruh kegiatan bermusik dan mengambil istirahat panjang setelah menjalani operasi transplantasi ginjal akibat adiksinya yang tinggi terhadap obat penenang dan alkohol. Dalam kurun waktu tersebut, Eyehategod sempat dibantu oleh Phil Anselmo (Pantera, Down), dan Randy Blyhe (Lamb Of God) di beberapa pentas.
(Dok. Supermusic)
Meski terlihat belum sepenuhnya bugar, Mike adalah sosok yang sangat berwibawa saat menghancurkan telinga para penonton dengan suaranya yang lirih, mirip seperti orang hampir tewas. Depresinya tergambar jelas, namun Mike juga beberapa kali menyelipkan humor saat berinteraksi dengan penonton di sela-sela lagu. Maximum rocknroll.
New Orleans Is The New Vietnam, Metamphetamine, Peace Thru War, dan Run It Into the Ground menjadi empat lagu penutup Eyehategod di Munchen. Trance, brutal, jatuh bangun, kemabukan, hijau, adalah sejumlah kata yang bisa mengambarkan malam tersebut.
Semua perjuangan terbayar lunas. Saat pertunjukan selesai, gue hanya berharap agar tidak tiba-tiba terbangun karena ini hanya mimpi. EHG FOREVER, FOREVER EHG.
Image source: https://www.instagram.com/eyehategodnola/
ARTICLE TERKINI
0 Comments
Daftar dan Dapatkan Point Reward dari Superlive
Please choose one of our links :