Close burger icon

HELLO THERE, SUPER USER !

Please Insert the correct Name
Please Select the gender
Please Insert the correct Phone Number
Please Insert the correct User ID
show password icon
  • circle icon icon check Contain at least one Uppercase
  • circle icon icon check Contain at least two Numbers
  • circle icon icon check Contain 8 Alphanumeric
Please Insert the correct Email Address
show password icon
Please Insert the correct Email Address

By pressing Register you accept our privacy policy and confirm that you are over 18 years old.

WELCOME SUPER USER

We Have send you an Email to activate your account Please Check your email inbox and spam folder, copy the activation code, then Insert the code here:

Your account has been successfully activated. Please check your profile or go back home

Reset Password

Please choose one of our links :

Dinamika Metal Lokal Setelah Pandemi

Setelah hampir tiga tahun dipaksa “berdiam” karena pandemi, kini semuanya mulai kembali menggeliat bangkit, termasuk musik keras tanah air yang sebenarnya tidak diam-diam amat. Selama pandemi, pergerakan musik keras terutama di bawah tanah terus memanas. Hal ini bisa dibaca dalam beberapa artikel saya sebelumnya beberapa waktu lalu, sepertinya sekitar setahun yang lalu. Hmmm.. ternyata cukup lama juga saya berdiam dalam tulis menulis. 

Saya masih membuat berita singkat seputar musik keras yang tercinta meski tidak menulis artikel opini seperti ini. Bukan berarti saya malas, hanya tidak tahu harus menulis apa. Sudah lupakan yang penting sekarang saya menulis lagi. Ya, Kembali lagi ke topik sebelumnya, bahwa skena musik keras Indonesia tetap membara di era pandemi. Bagaimana keadaannya setelah memasuki era endemi?

Ternyata keadaan dan situasinya pasti berbeda. Peta musik keras nusantara berubah, semua pelaku di skena dan industri ini mengalaminya. Dari band, event organizer/ promotor, records label, clothing, rockshop, media dan tentu juga metalheadnya terkena dampak perubahan tersebut. Hal ini bisa positif, bisa juga negatif. 

Faktor eksternal seperti wabah virus corona dengan segala aspeknya sudah pasti sangat berpengaruh pada internal. Keduanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Satu hal yang menarik bagi saya adalah musik keras seperti kembali ke kitahnya, kembali ke gorong-gorong, kembali menjadi underground lagi. 

Setelah hampir dalam 2 dekade terakhir berada dalam arus utama dan menjadi kesayangan, musik keras harus mengalami perputaran roda industri. Ini suatu hal yang wajar dan lumrah. Inipun bukan suatu hal yang buruk karena ini membuat skena dan komunitas kembali bekerja lebih keras. 

Pola-pola dan etos kerja underground kembali digiatkan. Semangat berjejaring tanpa tergantung pada korporat besar. Bukan berarti kemudian anti terhadap korporat besar tapi menjadi lebih mandiri dengan posisi tawar lebih kuat. Dan ketika bekerjasama dengan korporat besar menjadi sebuah hubungan yang saling menguntungkan.

Ok, sekarang saya akan bicara tentang band. Selalu ada perdebatan tentang siapa band cadas terbesar di Indonesia. Ini akan menjadi diskusi yang panjang dan melelahkan karena bicara masalah selera. Tapi jika melihat tolak ukur, seperti karya, popularitas, dan kiprah di dunia musik Tanah Air atau bisa disebut “The Big 3”, yaitu Burgerkill, Seringai, dan Deadsquad. 

Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, ketiganya merajai ranah musik keras tanah air. Tidak perlu dijelaskan dan diperdebatkan lagi sepak terjang mereka. Tapi dalam era pandemi, ketiganya juga mengalami banyak hal dalam internal band. Tahun 2021, Burgerkill bisa dikatakan mengalami tahun terberat. Diawali dengan hengkangnya Vicky Mono dari posisi vokal. Meski sudah menemukan vokalis baru yang gahar, yaitu Ronald Alexander dari Carnivored, tentu bukan hal mudah dalam perubahan ini. Posisi vokalis sebagai sosok yang selalu terlihat sekaligus memberi warna yang kuat dalam band. 

Pukulan terbesar Burgerkill adalah meninggalnya Ebenz, gitaris sekaligus motor dari raksasa metal dari Ujungberung Bandung ini. Ebenz adalah mastermind dari Burgerkill. Sosoknya sangat berpengaruh tidak hanya di skena musik Bandung tapi nasional. Burgerkill tidak menyerah begitu saja, dengan formasi berempat mereka merilis single baru berjudul Roar of Chaos yang ganas. Sebuah pembuktian bahwa Burgerkill masih ada dan kuat. Tapi tidak bisa dipungkiri ketidakhadiran Ebenz membuat ada sesuatu yang hilang dari mereka.

Yang kedua adalah Seringai. Seringai tidak hanya sekadar band, tapi mereka menjelma menjadi brand yang sangat kuat secara industri. Image mereka melampaui batas-batas musik keras. Band ini begitu luwes dan fasih menabrak tren, bahkan berhasil menciptakan tren itu sendiri. 

Bahkan menurut saya, Motorhead harus berterima kasih kepada Seringai karena membuat nama Motorhead lebih dikenal di Indonesia. Mungkin itu terlalu berlebihan, tapi kenyataannya begitu. Dengan musik yang mereka sebut High Octane Rock, Seringai bisa dinikmati khalayak umum lebih luas. Tapi yang lebih luar biasa adalah image yang diciptakan lebih bisa menembus pasar dan budaya popular. 

Saya menganggap Seringai adalah Metallica-nya Indonesia. Itu menurut saya, kalau Superfriends tidak setuju ya tidak apa. Begitu besarnya Seringai seperti hampir tidak tersentuh. Mereka ada dalam langit ibukota terutama Jakarta Selatan dengan segala kerlap kerlipnya. Kasus perselisihan mereka dengan Gofar Hilman menjadi topik panas beberapa waktu lalu. Gogo atau gosip underground ramai dibicarakan. Entah itu menjadi hal yang baik atau yang buruk, tapi gosip tentang Seringai lebih dibicarakan daripada karya mereka. 

Ditambah selama pandemi, Seringai memutuskan tidak mau bermain secara streaming seperti yang dilakukan band lain dengan alasan tertentu termasuk juga faktor Kesehatan. Harus diakui para personil Seringai tidak bisa dikatakan muda lagi, namun bukan berarti saya meragukan mereka tapi umur tidak bisa bohong. 

Dengan segala kesibukan dan aktivitas, mereka mungkin tidak banyak waktu lagi untuk terjun langsung di skena dan komunitas musik keras yang sangat dinamis, sedangkan keadaan sudah berubah. Seringai yang sudah menjadi raksasa akan menghadapi skena musik keras yang berbeda. Dengan kapasitas individu personil band ditunjang tim di balik layer yang tidak diragukan lagi, sangat menarik menunggu aksi Seringai di era endemi.

Pergantian personil juga harus dialami Deadsquad, bahkan menjadi drama metal nasional. Rumor dan berita simpang siur menerpa band death metal dari Jakarta ini. Seperti Burgerkill, Deadsquad juga harus berpisah dengan vokalis Daniel Mardhany. Hal yang menjadikan topik panas karena terjadi kasus hukum penyalahgunaan narkoba yang dialami Daniel yang membuatnya dikeluarkan dari band. 

Publik terutama Pasukan Mati terbelah dengan segala opininya. Sangat disayangkan karena beberapa waktu sebelumnya Deadsquad membuat gempar musik Indonesia melalui karya berkolaborasi bersama diva pop Isyana Sarasvati, dan menghasilkan single baru berjudul Paranoid Skizoid sebagai pembuka album keempat yang rencananya berjudul Omeg4litikum. 

Tapi rencana tinggal rencana, karya luar biasa itu seakan tenggelam dengan masalah yang menerpa. Menyusul Daniel, bassist Welbi Cahyadi juga berpisah dengan Deadsquad. Tidak lama setelah itu, Daniel bersama Welbi beberapa eks personil Deadsquad yang lain, yaitu Coki Bollemeyer, Alvin Eka putra, dan Bonny Sidharta membentuk BongaBonga. 

Lebih menggemparkan lagi, mereka ditambah Andyan Gorust membentuk band death metal baru Bernama Darksovls. Deadsquad tidak berdiam diri, Stevi Item beserta anggota yang ada segera merekrut vokalis baru Agustinus Widi dari band Genoicide dan bassist Shadu Rasjidi. Dengan formasi baru ini mereka merilis album baru yang berjudul Catharsis secara digital. Album yang cukup mengejutkan karena musik Deadsquad berubah cukup drastis. 

Meski benang merahnya masih death metal, tapi terdengar lebih modern baik secara musik dan sound. Karakter vokal Widi yang variatif dan gahar menjadikan Deadsquad lebih segar. Banyak orang mengatakan Deadsquad menjadi death core. Saya pribadi tidak memperdulikan itu, bagi saya album baru ini sangat keren. Saya sangat suka karakter vokal Widi. 

Tapi sekali lagi, publik dan penggemar Deadsquad kembali terbelah dalam dua kubu. Pro kontra menanggapi perubahan musik di album baru ini. Formasi ini membuktikan dalam sebuah konser hearing season yang luar biasa. Belum selesai perdebatan ini, kembali gosip menyebutkan bahwa Widi keluar dari Deadsquad. Hah? Berita ini belum diklarifikasi oleh pihak band. Saya sangat menyayangkan kalua hal ini terjadi, tapi kalau itu memang terjadi adalah hak dari yang bersangkutan. 

Pergantian vokalis dua kali berturut-turut bukan hal yang mudah. Karakter vokal memberi warna dalam band. Meski saya masih yakin selama masih ada Stevie Item dan Pasukan Mati yang selalu mendukung, Deadsquad akan tetap ada. Bagaimana langkah Deadsquad selanjutnya?

Tidak hanya Burgerkill, Seringai, dan Deadsquad yang harus mengalami dinamika kehidupan tersebut, semua band juga harus menghadapi perubahan zaman. Bagaimana juga perkembangan gigs bahkan festival? Records label dan lainnya? Kita tunggu kelanjutannya bulan depan, Superfriends!

ARTICLE TERKINI

Author : Admin Music

Article Date : 10/06/2022

Article Category : Noize

Tags:

#Stephanus Adjie #Supernoize #Burgerkill #DEADSQUAD #Metallica

6 Comments

Comment
Julia Margaret

Julia Margaret

13/11/2024 at 22:59 PM

Peta musik keras nusantara beruba
RAHARDJO TEONOVI

RAHARDJO TEONOVI

03/03/2025 at 18:53 PM

Dinamika Metal Lokal Setelah Pandemi
wanju bonardo

wanju bonardo

21/04/2025 at 09:44 AM

OKE
pandapotan sipahutar

pandapotan sipahutar

23/04/2025 at 00:30 AM

oke
AHMAD SAFII

AHMAD SAFII

16/05/2025 at 13:43 PM

Dinamika Metal Lokal Setelah Pandemi
Yohanes Hariono

Yohanes Hariono

17/05/2025 at 08:19 AM

Waduhh pergerakan bawah tanah??😱
Other Related Article
1 / 10

Daftar dan Dapatkan Point Reward dari Superlive