Close burger icon

HELLO THERE, SUPER USER !

Please Insert the correct Name
Please Select the gender
Please Insert the correct Phone Number
Please Insert the correct User ID
show password icon
  • circle icon icon check Contain at least one Uppercase
  • circle icon icon check Contain at least two Numbers
  • circle icon icon check Contain 8 Alphanumeric
Please Insert the correct Email Address
show password icon
Please Insert the correct Email Address

By pressing Register you accept our privacy policy and confirm that you are over 18 years old.

WELCOME SUPER USER

We Have send you an Email to activate your account Please Check your email inbox and spam folder, copy the activation code, then Insert the code here:

Your account has been successfully activated. Please check your profile or go back home

Reset Password

Please choose one of our links :

Baskara ‘.Feast’: Musik Rock Melukai Dirinya Sendiri

Jika kamu membaca artikel ini, ada kemungkinan besar kamu mengikuti perkembangan musik, dan maka masih ingat saat di penghujung 2013 lalu, Arctic Monkeys mengeluarkan album kelimanya yang bertajuk AM.

Seketika, hampir setengah laki-laki muda di Indonesia seakan mengadopsi gaya rambut undercut pomade serta berbagai hal lain yang dilakukan Alex Turner dan kawan-kawan. Walau gaya seperti ini sudah lama ada dalam katalog penampilan laki-laki sejak tahun 1920-an, dan Arctic Monkeys sebenarnya sudah mengadopsinya satu album sebelum AM (yakni Suck It and See, 2011), saya masih yakin bahwa meledaknya AM dalam skala global––sebuah angin segar yang inovatif dalam musik rock––membantu mengangkat tren jaket kulit dan rambut slick back kembali ke permukaan.

Jika ditilik mundur, perkembangan musik populer memang selalu memengaruhi arahan tren fashion dan sebaliknya. Terlebih lagi, ia memengaruhi bagaimana seseorang yang melek budaya populer mempresentasikan dirinya kepada publik. Musik folk di Amerika Serikat tahun 1960-an membantu menaikkan pamor denim, dan konteks lagu-lagunya yang banyak berbicara tentang kehidupan kelas pekerja membuat kebanyakan orang nyaman tampil apa adanya dalam publik.

Desain-desain karya Vivienne Westwood merupakan pondasi dari estetika punk. Glam rock pada tahun 80-an mendefinisikan apa itu maskulinitas pada zamannya. Grunge membuat para musisi tak malu untuk tampil dengan cardigan, sweater atau flannel. Ini berlanjut terus sampai akhirnya khalayak cukup letih dengan estetika post-hardcore pra-2010. 

Setelahnya, belum ada pergerakan musik keras berformat band lagi yang dapat menciptakan tren fashion sehebat Arctic Monkeys era AM. Pergerakan besar yang tongkat estafetnya bahkan dimulai sebelum Judas Priest menggunakan baju hitam di atas panggung berpuluh-puluh tahun lalu, sekarang telah terpecah menjadi subkultur-subkultur kecil yang sangat banyak. Musik rock, bahkan yang alternatif, sudah tidak seseragam dulu. Secara lokal, kita juga mulai sadar bahwa ada juga berbagai macam pergerakan di dekat kita yang mungkin tak kalah keren, dan pesan serta estetikanya dapat mewakili aktualisasi diri masing-masing.

Namun, terlepas dari perkembangan subkultur yang semakin beragam, tetap ada tren-tren global yang didikte oleh jenis-jenis musik atau pergerakan tertentu. Streetwear sekarang menjamur akibat hip-hop. Saya sedang menggunakan sneakers dan jogger pants saat menuliskan artikel ini.

Walau tak sepenuhnya punah, estetika rock perlahan hilang dari permukaan. Menggunakan pernak-pernik rock bukan menjadi norma umum lagi untuk pengunjung acara musik. Selain Arctic Monkeys, nama terakhir yang mempopulerkan kembali estetika fashion rock secara global––ironisnya––adalah Kanye West. Katanya, jika hip-hop adalah musik terbesar di dunia sekarang, maka hip-hop adalah rock and roll yang baru, dan ia adalah rockstar terbesar di dunia.

Perkataan Kanye West bukan merupakan pernyataan asal. Statistik menunjukkan bahwa semenjak tahun 2017, hip-hop telah mengambil alih kemudi sebagai jenis musik yang paling banyak didengar. Hip-hop (dan mungkin di luar ini, musik elektronik secara umum), secara tidak langsung telah menciutkan nilai relevansi musik rock berformat band. Bahkan dalam produksinya mengerjakan AM (2013), salah satu album rock terakhir yang mungkin dapat dikatakan ‘relevan’ untuk kuping awam, Arctic Monkeys menyebutkan bahwa penulisannya sangat terpengaruh oleh musik hip-hop.

Di mata saya, melemahnya pengaruh rock terhadap fashion secara global (dan lokal) merupakan omen utama akan relevansi musik rock yang semakin tergerus. Kawan-kawan kita secara global tak kunjung usai menantikan kembalinya penyelamat musik rockAnak-anak sekolah sekarang lebih memilih untuk menghabiskan waktu di sekolah DJ dibandingkan patungan bersama tiga temannya yang lain untuk membawa gitar listrik dan stik drum ke sebuah studio musik dengan peralatan seadanya. 

Perkembangan teknologi, mungkin, merupakan ‘lawan’ terbesar dari musik rock, lantaran ia melahirkan software DAW dan media sosial.

Software DAW menjadi semakin mudah diakses oleh anak muda, dan membuat musik (dalam gaya apapun) jauh lebih mudah dikerjakan sendirian dari kamar dibandingkan melalui uang sewa studio. DAW juga memberikan keleluasaan bagi penggunanya untuk menerjemahkan perasaan mereka melalui suara-suara yang tak dapat diproduksi melalui alat musik organik dengan stompbox apapun.

Pengaruh software DAW, bagi saya, tak ada apa-apanya dibandingkan dampak media sosial kepada musik rock. Media sosial memberikan contoh konkrit bagaimana mempromosikan musik dalam bentuk entitas seorang solois jauh lebih mudah dibandingkan mempromosikan sebuah brand dalam bentuk grup musik. Satu poin ini sendiri mungkin dapat membuktikan bahwa audiens lebih peduli dengan figur orangnya dibandingkan karya yang ia buat––dan mungkin merupakan salah satu alasan tersirat mengapa selalu diperlukan seorang frontman dalam sebuah band. 

Poin terpenting adalah bagaimana media sosial membuka akses bagi audiens untuk menilai dan membandingkan. Membandingkan pesan, pembawaan serta estetika musik rock secara keseluruhan dengan musik lain, serta membandingkan musik rock yang kolot dengan yang segar. Dalam perbandingan yang mereka lakukan, saya curiga bahwa orang mulai muak dengan nilai maskulinitas rapuh yang seringkali dibawakan oleh banyak band rock, yang juga terjadi di lingkungan kita.

Mungkin audiens muak dengan penggiat rock yang anti teknologi, berkata bahwa dalam aransemen lagu harus ada suara gitar fuzz dengan riff sangar, bahwa proses pembuatan lagu harus sepenuhnya analog, yang berkata bahwa anggota band rock tidak sepatutnya aktif di Instagram Story karena akan terlihat banci, bahwa musik The 1975 adalah musik ‘lenje’, bahwa datang ke festival besar tertentu merupakan pilihan yang bodoh karena musiknya yang terlalu ‘kekinian’, bahwa laki-laki seharusnya mendengarkan rock, bahwa laki-laki dalam band rock seharusnya tampil tidak terlalu memikirkan penampilan, atau hanya terlihat maskulin dan cocok dengan musiknya jika menggunakan outfit-outfit tertentu seperti baju hitam-hitam, bahwa musik rock terakhir sudah berhenti di tahun 2000-an awal, bahwa musik modern secara keseluruhan sejatinya adalah hanya sebuah bentuk hiburan sampah.

Audiens perlahan muak diberitahu bagaimana seharusnya mereka menikmati dan menyikapi musik, dengan beberapa subkultur rock yang juga mendikte apa itu artinya untuk menjadi laki-laki maskulin, terkadang hanya menjadikan perempuan sebagai objek atau catatan pinggir dalam perjuangannya membangun pergerakan mereka, yang mendikte mana itu musik ideal dan mana yang bukan, atau mana yang rock dan yang bukan.

Dengan semakin terbukanya anak-anak generasi muda dengan hal baru, tak heran jika melalui penggaliannya via internet dan media sosial mereka menemukan lingkungan-lingkungan musik lain yang jauh lebih menerima dan toleran dibandingkan rock. Tentu, tiap subkultur mungkin memiliki masalah sendiri-sendiri, dan seksisme serta elitisme hampir pasti selalu ada di subkultur manapun, tapi kita tak bisa memungkiri bahwa citra musik keras jauh lebih mengintimidasi dibandingkan kebanyakan lingkungan musik lain.

Tentu, tidak semua penggiat musik rock mencerminkan kekurangan-kekurangan tersebut. Dalam konteks lokal, di perjalanan saya menjadi anggota .Feast, yang dalam satu dan lain cara dapat dikatakan juga sebagai unit rock, saya pun menemukan kawan-kawan dari angkatan tua maupun muda yang memiliki kecemasan sama terhadap lingkungan rock lokal. Walau demikian, kami senang melihat perlahan lingkungan dan penggiatnya sudah semakin terbuka dan beraneka ragam. Band-band yang bermunculan sekarang sudah tidak semaskulin dulu, dan jika boleh jujur, saya senang.

Akhir kata, perihal elitisme ini saya yakin terjadi lintas subkultur. Secara lokal, masih banyak orang-orang yang tidak menyukai sesuatu hanya karena hal tersebut disukai oleh banyak orang lain. Memiliki opini itu sah-sah saja, tapi untuk sampai membujuk orang lain agar tidak mendengarkan sesuatu menurut saya merupakan sebuah tindakan yang korosif. Berdamailah dengan diri sendiri dan katakan dalam hati bahwa memang hal tersebut bukan untukmu. Pun mencibir musik tertentu tak akan membuat musikmu lebih banyak didengar oleh orang lain.

ARTICLE TERKINI

Tags:

#baskara putra #.Feast #Arctic Monkeys #Hip Hop #Kanye West #Alex Turner

Article Category : Noize

Article Date : 11/07/2018

Supermusic
Supermusic
Admin Music
Penulis artikel dan penggila musik rock/metal yang setiap hari ngulik rilisan baru, liputan gig, dan cerita di balik panggung band legendaris. Gue percaya musik keras itu bukan cuma suara, tapi energi dan gaya hidup. Konten gue disajikan dengan detail dan semangat yang sama garangnya sama musik yang gue bahas. Superfriends yang hidupnya nggak bisa lepas dari riff gitar dan gebukan drum pasti betah nongkrong di sini. Tiap artikel gue bikin biar lo ngerasa kayak lagi ada di depan panggung.

0 Comments

Comment
Other Related Article
image article
Noize

Rudolf Dethu: Muda, Bali, Bernyali

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Noize

Perilaku Individu Musik Indonesia di Era ‘Baby Boomers’ dan ‘Gen X’

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Noize

Yulio Piston: Tentang Menjadi Pengkritik Musik

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Noize

Sudah Saatnyakah Indonesia Punya Rock ‘n Roll Hall of Fame?

Read to Get 5 Points
image arrow
1 /

Daftar dan Dapatkan Point Reward dari Superlive