Author :
Article Date : 28/01/2016
Article Category : Super Buzz
Karena sering melihat video Metallica dan gitaris-gitaris macam Ritchie Blackmore dan Steve Vai, salah satu finalis Supergitar Competition 2015 Dede Aldrian memutuskan untuk menjadi seorang gitaris. “Kayaknya jadi gitaris itu macho banget,” ujar Dede. Ayahnya memang seringkali memutar video-video ini di rumah. Mau tidak mau, menonton video live musik rock ini menjadi kebiasaan Dede sejak kecil. Ia pun mulai belajar memainkan gitar sejak usia 10 tahun, tepatnya tahun 2005.
Setelah memainkan berbagai genre lewat jari-jarinya, Dede mendapatkan karakter untuk permainan gitarnya. Ia memadukan permainan dari gitaris idolanya dan konsep etnik yang menjadi kesukaan sekaligus jagoannya. “Konsep dasar bisa dari teknik dan skill sang influence, tapi saya olah dengan teknik dasar etnik, tentunya dengan ciri saya sendiri,” ungkap Dede. Hal ini pula yang mendasarinya membuat projek Metalethnic, yaitu kolaborasi musik etnik dan metal.
Band keluarga dan projek solo
Bersama ayah dan saudara-saudaranya, Dede tergabung dalam band bernama Pyramid. Band bergenre rock ini terbentuk sejak Dede masih berusia 11 tahun. Hingga saat ini, Pyramid telah menetaskan tiga album, di antaranya Pergaulan Bebas (2008), Sexy Girls (2009) dan New Generation (2010). Bersama Pyramid, Dede sudah menikmati berbagai panggung dan festival musik di Bogor dan Jakarta. Kini Pyramid berganti nama menjadi Pyramid Rega dan mengusung genre heavy ska/punk. Dede mengatakan, Pyramid Rega yang terbentuk sejak 2013 ini telah merilis album pertamanya Januari 2016 ini; yang dimentori oleh gitaris Gideon Tengker.
Ini bukan satu-satunya band yang Dede gawangi. Ia juga bermain dalam band blues bernama DOY dan menjalani projek gitar solo di bawah nama Metalethnic. “Jadi ada tiga genre yang berlainan,” cetus Dede. Beragamnya genre yang Dede mainkan dalam ketiga projek ini menjadi warna tersendiri dalam permainan gitar Dede yang dipengaruhi oleh Ritchie Blackmore, Steve Vai, Uli John Roth dan Gideon Tengker.
Konsep bermusik dan permainan gitar Dede sebagai gitaris solo bisa kita dengar lewat albumnya Voice of Ethnic (Mei 2015). Ia mengaku, eksplorasi musiknya lebih luas ketika ia menggarap projek solonya. “Saya memilih jadi gitaris band, karena lebih enjoy perform live dengan kawan-kawan. Tapi, dalam hal kreativitas konsep bermusik lebih leluasa bermain solo, enggak banyak yang diaturnya,” cetus Dede.
Bertemu gitaris-gitaris handal
Bermain gitar mempertemukan Dede dengan gitaris-gitaris senior, salah satunya Gideon Tengker. Gitaris blues berambut putih yang sempat tergabung dalam band Drakhma ini kini menjadi mentor Dede dalam mempelajari gitar. “Dengan belajar gitar, saya enggak menyangka bisa ketemu dengan musisi senior Gideon Tengker dan main ke rumahnya. Saya menjadi salah satu muridnya sampai sekarang,” tutur Dede. Bagi Dede ini merupakan hal istimewa, terutama melihat murid Gideon yang saat ini sudah melanglangbuana, seperti Abdee Slank, Andry Muhammad, Sonata Klaki dan masih banyak lagi.
Di samping dipertemukan dengan Gideon Tengker, Dede juga bertemu dengan Ireng Maulana di Jakarta Audiopro Expo (JAPEX) 2010. Berkat pertemuan ini, Dede mendapat kesempatan tampil di Jakarta International Jazz Festival 2010 Cares di Gandaria City Mall. Dede sangat bersyukur telah dipertemukan dengan kedua gitaris ini, karena permainan gitar yang kini dikuasainya.
Simak lagu Dede Aldrian untuk Supergitar Competition 2015 “Gamelan ETHNIC Symphoni” lewat link ini.
Foto: dok. pribadi
Please choose one of our links :