Apa jadinya jika sebuah album diciptakan khusus untuk “didengarkan” oleh tanaman? Ya, bukan untuk seorang manusia, melainkan untuk tanaman–agar dapat membantu proses pertumbuhan mereka. Tidak perlu mencari jauh-jauh, kita sudah punya Plantasia, album ciptaan komponis asal Kanada, Mort Garson.
Sebagai sebuah album yang rilis di tahun 1976, ia baru dikenal luas oleh publik di era digital ini. Singkat kata, Plantasia merupakan sebuah album yang berstatus cult. Dan kali ini, SUPERMUSIC akan membahas seputar album “hijau” ini.
Kalanya rilis, Plantasia tidak dipasarkan meluas. Ia hanya dijual di toko tumbuhan Mother Earth di Los Angeles, Amerika. Albumnya yang memang dari awal disusun bersama para co-owner toko tersebut, yakni Joel dan Lynn Rapp, yang juga menulis booklet hortikultura sebagai pengiringnya. Selain toko tumbuhan Mother Earth, Plantasia hanya bisa didapatkan dengan membeli matras Simmons dari Sears. Aneh, bukan?
Barulah pada dekade 2000-an album ini mencuat ke sirkuit musik arus samping. Angkat topi untuk geliat dan budaya crate digging para kolektor musik, lalu Plantasia pun medarat pada telinga-telinga yang tepat. Dari sana, ia menemukan tempatnya di Internet–di YouTube, lebih tepatnya. Algoritma juga berlaku baik bagi album ini, menggiringnya kepada publik luas yang tak jarang menyandingkannya dengan karya-karya ambient dari Brian Eno, juga dengan isu-isu global warming yang saat itu terasa semakin relevan (hingga sekarang).
Mengintip lebih dalam, kisahnya semakin aneh. Mastermind di balik Plantasia, Mort Garson, merupakan seorang komponis dan penulis lagu musik easy-listening. Ia dikenal sebagai co-writer lagu “Our Day Will Come”, hit single tahun 1963 milik Ruby and the Romantics yang kemudian di-cover oleh banyak musisi hebat. Selain itu, Garson juga jadi arranger dalam orkestra strings Glen Campbell untuk “By the Time I Get to Phoenix”. Kariernya juga merambah ke dunia televisi, Garson menjadi komponis yang mengisi soundtrack siaran berita Amerika saat menayangkan pendaratan Apollo 11 di bulan. Keep in mind, pendaratan itu merupakan sebuah momen bersejarah, dan Mort Garson jadi pemandu musiknya.
Pencapaian-pencapaian impresif ini bertolak belakang dengan popularitasnya. Mort Garson–meski memiliki CV yang menakjubkan–tidak begitu tenar. Barangkali hal tersebut disebabkan oleh sifat aversi terhadap karya-karya rilisannya sendiri. Coba kulik dua albumnya selain Plantasia, mereka dirilis tidak menggunakan nama aslinya. The Zodiac (1967) rilis atas nama Cosmic Sounds, sedangkan Black Mass (1971), dikreditkan kepada Lucifer.
Kembali membahas album Plantasia. Album tersebut identik dengan terpaan synth yang menghadirkan nuansa hangat dan bersahabat. Melalui nada-nada terang itulah Plantasia mampu memancarkan kemistisannya: menjadi sebuah rilisan yang, walaupun ditujukan kepada tumbuhan, dapat dinikmati oleh semua orang lintas usia. Cult status confirmed.
Barangkali tidak ada yang lebih terkejut mendengar ketenaran album itu sekarang selain anak dari Mort Garson sendiri. Adalah Day Darmet Garson, anak perempuan sang komponis yang turut angkat bicara kepada The Guardian. Ia menyatakan, “Setelah Ayah meninggal dunia, saya membawa semua barang-barangnya dan menyimpannya secara rapih, semua musik-musiknya.
“Teman-teman saya mulai bercerita tentang Plantasia karena melihatnya di YouTube. Saya berpikir ‘kalian semua bercanda.’ Setelah itu saya pun melihatnya sendiri dan barulah menyadarinya,” tuturnya. Ia mengaku terkejut karena tidak begitu menggubris album hijau ini. “Ada banyak karya-karya Ayah yang begitu indah dan menyentuh, tapi album (Plantasia) tidak berlaku demikian pada saya.” Hal yang sama juga dirasakan oleh sang istri, sosok yang justru menjadi inspirasi awal Mort Garson untuk menyusun album Plantasia karena hobi berkebunnya.
Day Darmet Garson turut menutup, “Pada awalnya, (Plantasia) memang tidak menggerakan hati saya, namun ia mampu menggerakan hati Ayah. Di batu nisannya, ia menyuruh saya untuk menulis ‘The music plays on.’ Ternyata ia benar, musiknya benar-benar terus bergulir.”
Album ini juga menginspirasi duo elektronik asal Bandung, Bottlesmoker, yang beberapa waktu lalu baru saja melangsungkan konser bertajuk sama seperti nama album. Konser Plantasia berjalan unik karena penontonnya adalah para tanaman dari berbagai orang yang dititipkan sebagai "penonton" untuk menikmati konser tersebut.
Bagaimana pendapat kalian seputar album Plantasia ini? Buat yang hobi berocok tanam di era pandemi, barangkali kalian dapat memutarkan album ini setiap pagi kepada para tanaman kalian. Siapa tahu hasilnya benar-benar berkhasiat?
Article Category : Super Buzz
Article Date : 25/08/2020
5 Comments
Other Related Article
1
/
10
Daftar dan Dapatkan Point Reward dari Superlive
Andriyan Yan
18/01/2025 at 00:12 AM
Nazrul Arifin
30/01/2025 at 09:29 AM
Ericka Adelia
12/02/2025 at 19:26 PM
Panji Nugraha
10/03/2025 at 16:27 PM
Nicolas Filbert Tandun
17/06/2025 at 18:06 PM