Close burger icon

HELLO THERE, SUPER USER !

Please Insert the correct Name
Please Select the gender
Please Insert the correct Phone Number
Please Insert the correct User ID
show password icon
  • circle icon icon check Contain at least one Uppercase
  • circle icon icon check Contain at least two Numbers
  • circle icon icon check Contain 8 Alphanumeric
Please Insert the correct Email Address
show password icon
Please Insert the correct Email Address

By pressing Register you accept our privacy policy and confirm that you are over 18 years old.

WELCOME SUPER USER

We Have send you an Email to activate your account Please Check your email inbox and spam folder, copy the activation code, then Insert the code here:

Your account has been successfully activated. Please check your profile or go back home

Reset Password

Please choose one of our links :

Alvin Yunata: Musik, Anak Muda, dan Perlawanannya

Dahulu di era 90-an di mana saya besar dan tumbuh sebagai anak ingusan, saya melihat punk rock adalah media yang ideal untuk memenuhi hasrat perlawanan. Walaupun dahulu untuk saya pribadi tidak terlalu jelas motif dari perlawanan apa yang sedang saya jalani, tapi bagi sebagian anak muda lainnya pastinya sangat jelas dengan tujuan perlawanannya.

Musik alternative adalah media yang ideal saat itu untuk mewakili hasrat perlawanan yang begitu menggebu di kebanyakan anak muda. Saya akui generasi 90-an adalah generasi yang sangat terpengaruhi oleh tren-tren pendulum musik dunia antara Amerika dan Inggris. Pilihan musik hip hop, metal, punk rock, grunge, britpop dan segala turunannya begitu mendominasi pilihan kami. Mungkin di era itu adalah gerbangnya, hingga sampai saat ini akhirnya semua turunan genre musik alternative dan tetek bengeknya tumbuh subur di negara ini. Sebelum semuanya berkembang pesat seperti sekarang ini dahulu kesemuanya masih tergolong sidestream.

Bagi masyarakat lebih luas nama-nama seperti Iwan Fals dan Kantata Takwa misalnya, jelas sekali mengusung musik perlawanan yang mampu membawa massa begitu masifnya lewat jenis musik yang lebih "konservatif" dan "merakyat.

Mari kita bedah sedikit definisi perlawanan menurut para ahli. Perlawanan akan dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas, frustrasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan di tengah-tengah mereka (Zubir, 2002). Jika situasi ketidakadilan dan rasa frustasi ini mencapai puncaknya, akan menimbulkan (apa yang disebut sebagai) gerakan sosial atau social movement, yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi menjadi kondisi yang berbeda dengan sebelumnya (Tarrow, 1994).

Anak muda dan perlawanan memang sebuah padu padan yang sangat erat, dan lewat media musik sepertinya menjadi satu kesatuan yang makin solid, mengingat musik adalah sebuah kendaraan yang paling kasual dan sederhana. Di belahan dunia manapun ini adalah sebuah formula yang sangat efektif, hampir semua gerakan perlawanan lewat musik rata-rata diinisiasi oleh para anak muda, siapapun dari Bob Dylan, Sex Pistols, Iwan Fals hingga pergerakan Tropicalia di Brazil.

Berbicara tentang musik dan sejarahnya di Indonesia, tentunya peran anak muda juga sangatlah krusial, kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat lewat musik akhirnya menjadi hal yang sangat lumrah. Peran musik di Indonesia pun sudah diplot menjadi sesuatu yang seharusnya besar dan maju. Presiden Soekarno resmi mendirikan perusahaan rekaman negara pada tanggal 29 Oktober 1956 bernama Lokananta. Bayangkan berapa banyak negara yang memiliki perusahaan rekaman? Tidak banyak atau tidak ada? Atau hanya di Indonesia?

Di era 50-an lahir lagi beberapa perusahaan rekaman swasta, salah satunya Irama Records milik seorang Laksamana Suyoso Karsono yang biasa dikenal dengan sebutan Mas Yos. Jelas peran dan kontribusi musik sangat penting di kala itu sebagai medium propaganda dan anak muda sebagai motor penggeraknya.

Pada perayaan kemerdekaan tahun 1959 dalam pidatonya, Bung Karno berkata:

"Dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau yang tentunya anti imperialisme ekonomi dan menentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik, kenapa dikalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa dikalangan engkau banyak yang masih rock-‘n-roll-rock-‘n-rollan, dansa-dansian á la cha-cha-cha, musik-musikan á la ngak-ngik-ngèkgila-gilaan, dan lain-lain sebagainya lagi? Kenapa dikalangan engkau banyak yang gemar membaca tulisan-tulisan dari luaran, yang nyata itu adalah imperialisme kebudayaan?Pemerintah akan melindungi kebudajaan Nasional, dan akan membantu berkembangnya kebudayaan Nasional, tetapi engkau pemuda-pemudi pun harus aktif ikut menentang imperialisme kebudayaan, dan melindungi serta memperkembangkan kebudayaan Nasional!"

Orde lama menutup akses tren barat, bayangkan bagaimana anak muda saat itu begitu resah dan gelisah, sesuatu yang mereka puja bahkan diharamkan di negerinya, tetapi belum ada yang berulah dalam jangka waktu dekat.

Demam rock n roll membuncah kala itu. Anak muda saat itu gundah, peraturan pemerintah mengekang tapi hasrat rock n roll tak terbantahkan. Sebagian besar dari mereka mencari solusi menghibrida musik rock n roll lewat lagu-lagu daerah atau tema nasionalisme. Terasa perlawanannya tetapi tidak melewati norma yang telah dibuat oleh pemerintah saat itu.

Beberapa anak muda yang tergabung dalam band pengiring asal Bandung Nada Kentjana misalnya, mereka menginfus nafas rock and roll kedalam hembusan lagu-lagu priangan. Eka Sapta menembangkan nomor-nomor lagu daerah dengan alunan surf rock ala The Ventures. Keduanya mampu melahirkan nada-nada alien yang mempesona, apalagi bagi kolektor piringan hitam dunia saat ini.

Hingga momen tak terlupakan di sebuah rumah dalam pesta seorang perwira pada tanggal 29 Juni 1965. Koes Bersaudara dan Dara Puspita berbagi panggung membawakan beberapa nomor dari The Beatles yang saat itu diyakini oleh Bung Karno sebagai penyakit mental bagi anak muda Indonesia. Penangkapan pun berlangsung. Koeswoyo bersaudara masuk ke dalam bui, sementara para Dara hanya terkena wajib lapor. Memang pada saat itu ada keistimewaan bagi  para musisi perempuan.   

Di sinilah sejarah mulai mencatat adanya perlawanan lewat musik di Indonesia. Setelah kejadian tersebut setelah Koes melewati masa tahanannya, mereka merilis album To The So Called "The Guilties" pada tahun 1967. Terdapat tiga buah lagu perlawanan di dalamnya, seperti "To The So Called The Guilties", "Di dalam Bui", dan "Poor Clown".

Begitu juga dengan para Dara yang saat itu terkena wajib lapor dalam setiap kedatangannya, mereka diharuskan menghibur para aparat dengan menyuguhkan beberapa lagu dan ternyata para aparat tak menyadari dan tidak mengerti kalau para Dara menyematkan lagu-lagu The Rolling Stones ke dalam repertoirnya. Dari momen tersebutlah mengapa pada lagu “Mari Mari” dari debut album Jang Pertama yang rilis pada tahun 1966, para Dara menyematkan intro lagu “Satisfaction” milik The Rolling Stones dengan tujuan mengejek momen tersebut.

Orde lama pun tumbang, hadirnya orde baru di bawah rezim Soeharto alih-alih membuka arus informasi dari barat. Sebuah momen yang dinantikan oleh banyak muda mudi Indonesia saat itu. Informasi datang begitu derasnya, bahkan orde baru menciptakan sebuah formula yaitu menunggangi musik ala barat sebagai alat propaganda kepada rakyatnya. Namun kesempurnaan daya serap muda mudi begitu mumpuni, sekejap mereka mengetahui segala hal hingga akhirnya mulai muncul pertanyaan-pertanyaan yang melahirkan perlawanan pada akhirnya.

Tak lebih dari satu tahun, represi muncul lagi. Larangan rambut gondrong dan sweeping dengan bantuan tentara menyebar di jalanan, para pemuda berambut gondrong dirazia secara mendadak. Bahkan Titiek Puspa pun menyuarakan aspirasinya lewat lagu "Rambut Gondrong" yang terdapat pada album Si Kumbang yang rilis pada tahun 1968. Sama halnya dengan Usman Bersaudara berteriak melawan momen tersebut lewat judul serupa dalam album Hard Beat Vol 1. Orde baru tak banyak memberi kesempatan para rakyat untuk guyub dan menyuarakan aspirasinya.

Sejak pemerintahan orde baru di paruh akhir era 60-an hingga pembuka tahun 70-an, aspirasi perlawanan muncul di kampus-kampus, sebuah strategi yang diinisiasi anak muda untuk menyulut api perlawanan. Masuknya dan maraknya budaya barat seperti hippie banyak disuarakan oleh para muda mudi, salah satunya dari para penggiat seni pertunjukan (teater). Yang paling populer saat itu adalah di Bandung, kota yang sarat akan perkembangan tren, dan gurunya adalah Remy Sylado yang memiliki nama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong. Pada saat itu beliau duduk sebagai dewan redaktur majalah musik dan kultur ternama bernama Aktuil. Pada saat itu beliau mempopulerkan sebuah organisasi maya yang melegenda bernama Orexas, akronim dari Organisasi Seks Bebas, dimana Orexas menyerap segala kultur hippie kala itu dan efeknya sangat dahsyat, begitu populer di kalangan muda mudi.

Harry Roesli adalah salah satu anak muda di Bandung yang terpengaruh akan pergerakan Remy Sylado saat itu. Harry tampil istimewa tidak seperti musisi kebanyakan, Harry yang sering disebut sebagai Frank Zappa-nya Indonesia mampu menampilkan karya-karya yang lebih kontemporer baik dalam penulisan lagu, lirik maupun desain sampul albumnya. Philosophy Gang dari Gang of Harry Roesli rilis di tahun 1973, secara utuh merefleksikan perlawanan dari tiap baitnya dan segala halnya. Rupanya korelasi teater, para mahasiswa dan musik memuat sebuah ekosistem perlawanan saat itu.

Demonstrasi mahasiswa di dalam kampus sering kali digelar, para penampil seni pertunjukan dan musik menjadi satu dalam orasi. Salah satunya adalah sosok menarik yang tak muncul ke atas permukaan, yaitu Dede Harris. Alunan perlawanan Dede nyaris senyap berjalan di bawah radar, bahkan Iwan Fals muda pun berguru padanya. Tak sebesar nama Fals, tapi nama Dede Harris begitu harum di mata para aktivis 70-an hingga 80-an. Sayang Dede tutup usia sangat cepat. Albumnya dirilis dengan judul In Memoriam Dede Harris 16 Agustus 1956 - 28 Februari 1999, sebuah kompilasi kumpulan lagu ini resmi dijual setelah beliau tutup usia.

Ini adalah gerbang pembuka bagi para musisi untuk menyuarakan kebebasan berekspresi hingga saat ini. Nyatanya musik adalah kendaraan perlawanan yang cukup mumpuni, tidak telak melukai tetapi semangatnya selalu membara sampai kapanpun. Dari zaman ke zaman, anak muda yang kritis selalu melakukan perlawanan dengan gaya dan caranya masing-masing. Talking about youth is all about rebellion, freedom and wilderness. When youth in revolt forever!

ARTICLE TERKINI

Tags:

#Alvin Yunata #musik perlawanan #Soekarno #Koes Bersaudara #Dara Puspita #Orde Lama #Orde Baru #remy sylado #Harry Roesli #dede harris #iwan fals

Article Category : Noize

Article Date : 08/10/2018

Supermusic
Supermusic
Admin Music
Penulis artikel dan penggila musik rock/metal yang setiap hari ngulik rilisan baru, liputan gig, dan cerita di balik panggung band legendaris. Gue percaya musik keras itu bukan cuma suara, tapi energi dan gaya hidup. Konten gue disajikan dengan detail dan semangat yang sama garangnya sama musik yang gue bahas. Superfriends yang hidupnya nggak bisa lepas dari riff gitar dan gebukan drum pasti betah nongkrong di sini. Tiap artikel gue bikin biar lo ngerasa kayak lagi ada di depan panggung.

32 Comments

Comment
Andriyan Yan

Andriyan Yan

11/01/2025 at 00:52 AM

1990
Nicolas Filbert Tandun

Nicolas Filbert Tandun

27/02/2025 at 21:23 PM

Musik alternative adalah media yang ideal
EDI SASONO

EDI SASONO

28/02/2025 at 10:38 AM

Alvin Yunata: Musik, Anak Muda, dan Perlawanannya
Lukman Hakim

Lukman Hakim

28/02/2025 at 19:00 PM

Dahulu di era 90-an
Garindratama Harashta

Garindratama Harashta

01/03/2025 at 09:13 AM

mantaaap
Ald /

Ald /

02/03/2025 at 20:38 PM

Nice info
Panji Nugraha

Panji Nugraha

02/03/2025 at 21:36 PM

#INIRASANYASUPER
Smard man

Smard man

03/03/2025 at 15:49 PM

Musik, Anak Muda, dan Perlawanannya
SUSILO UTOMO

SUSILO UTOMO

04/03/2025 at 07:33 AM

Alvin Yunata: Musik, Anak Muda, dan Perlawanannya
Fais Arifin

Fais Arifin

04/03/2025 at 14:01 PM

mantap
SARI ASTUTI

SARI ASTUTI

24/03/2025 at 15:39 PM

Demonstrasi mahasiswa di dalam kampus sering kali digelar, para penampil seni pertunjukan dan musik menjadi satu dalam orasi. Salah satunya adalah sosok menarik yang tak muncul ke atas permukaan, yaitu Dede Harris. Alunan perlawanan Dede nyaris senyap berjalan di bawah radar, bahkan Iwan Fals muda pun berguru padanya. Tak sebesar nama Fals, tapi nama Dede Harris begitu harum di mata para aktivis 70-an hingga 80-an. Sayang Dede tutup usia sangat cepat. Albumnya dirilis dengan judul In Memoriam Dede Harris 16 Agustus 1956 - 28 Februari 1999, sebuah kompilasi kumpulan lagu ini resmi dijual setelah beliau tutup usia.
AyuRL Ningtyas

AyuRL Ningtyas

04/04/2025 at 19:48 PM

Ricko Pratama Putra

Ricko Pratama Putra

17/06/2025 at 22:02 PM

Oke sip
INTAN FINDIA ANGGRAINI

INTAN FINDIA ANGGRAINI

28/06/2025 at 20:16 PM

Alvin Yunata: Musik, Anak Muda, dan Perlawanannya
INTAN FINDIA ANGGRAINI

INTAN FINDIA ANGGRAINI

28/06/2025 at 20:31 PM

Harry Roesli adalah salah satu anak muda di Bandung yang terpengaruh akan pergerakan Remy Sylado saat itu. Harry tampil istimewa tidak seperti musisi kebanyakan, Harry yang sering disebut sebagai Frank Zappa-nya Indonesia mampu menampilkan karya-karya yang lebih kontemporer baik dalam penulisan lagu, lirik maupun desain sampul albumnya. Philosophy Gang dari Gang of Harry Roesli rilis di tahun 1973, secara utuh merefleksikan perlawanan dari tiap baitnya dan segala halnya. Rupanya korelasi teater, para mahasiswa dan musik memuat sebuah ekosistem perlawanan saat itu.
INTAN FINDIA ANGGRAINI

INTAN FINDIA ANGGRAINI

28/06/2025 at 20:31 PM

Harry Roesli adalah salah satu anak muda di Bandung yang terpengaruh akan pergerakan Remy Sylado saat itu. Harry tampil istimewa tidak seperti musisi kebanyakan, Harry yang sering disebut sebagai Frank Zappa-nya Indonesia mampu menampilkan karya-karya yang lebih kontemporer baik dalam penulisan lagu, lirik maupun desain sampul albumnya. Philosophy Gang dari Gang of Harry Roesli rilis di tahun 1973, secara utuh merefleksikan perlawanan dari tiap baitnya dan segala halnya. Rupanya korelasi teater, para mahasiswa dan musik memuat sebuah ekosistem perlawanan saat itu.
INTAN FINDIA ANGGRAINI

INTAN FINDIA ANGGRAINI

28/06/2025 at 20:31 PM

Alvin Yunata: Musik, Anak Muda, dan Perlawanannya
INTAN FINDIA ANGGRAINI

INTAN FINDIA ANGGRAINI

28/06/2025 at 20:31 PM

Alvin Yunata: Musik, Anak Muda, dan Perlawanannya
Brawijaya Hutabarat

Brawijaya Hutabarat

22/07/2025 at 05:40 AM

Coll
Imam Wahyudi Hidayatullah

Imam Wahyudi Hidayatullah

30/07/2025 at 18:30 PM

Tidak ada kata tidak mungkin, sebelum kamu sempat mencobanya
Mulyanto Mulyanto

Mulyanto Mulyanto

30/07/2025 at 18:30 PM

Tidak ada kata tidak mungkin, sebelum kamu sempat mencobanya
ERYANA OKTAVIA

ERYANA OKTAVIA

30/07/2025 at 18:30 PM

Tidak ada kata tidak mungkin, sebelum kamu sempat mencobanya
Wahyu Hardi

Wahyu Hardi

30/07/2025 at 18:30 PM

Tidak ada kata tidak mungkin, sebelum kamu sempat mencobanya
Sri Wulandari

Sri Wulandari

30/07/2025 at 18:41 PM

Tidak ada kata tidak mungkin, sebelum kamu sempat mencobanya
Jenial Trino

Jenial Trino

30/07/2025 at 18:41 PM

Tidak ada kata tidak mungkin, sebelum kamu sempat mencobanya
Fitri Hasanah

Fitri Hasanah

30/07/2025 at 18:41 PM

Tidak ada kata tidak mungkin, sebelum kamu sempat mencobanya
Dwi Septiani

Dwi Septiani

30/07/2025 at 18:41 PM

Tidak ada kata tidak mungkin, sebelum kamu sempat mencobanya
Fiktor Hasan

Fiktor Hasan

30/07/2025 at 18:48 PM

Tidak ada kata tidak mungkin, sebelum kamu sempat mencobanya
Ramli Anwar

Ramli Anwar

30/07/2025 at 18:56 PM

Tidak ada kata tidak mungkin, sebelum kamu sempat mencobanya
pujanadi

pujanadi

25/08/2025 at 09:32 AM

Abdiel Tambayong
adji Noor

adji Noor

28/08/2025 at 13:25 PM

nice news
Sofi .

Sofi .

26/10/2025 at 17:48 PM

Bagus
Other Related Article
image article
Noize

Rudolf Dethu: Muda, Bali, Bernyali

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Noize

Perilaku Individu Musik Indonesia di Era ‘Baby Boomers’ dan ‘Gen X’

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Noize

Yulio Piston: Tentang Menjadi Pengkritik Musik

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Noize

Sudah Saatnyakah Indonesia Punya Rock ‘n Roll Hall of Fame?

Read to Get 5 Points
image arrow
1 /

Daftar dan Dapatkan Point Reward dari Superlive