Kurang lebih empat tahun lalu, awal bulan Maret tahun 2019, gue sempat menyisihkan pemasukan selama beberapa bulan terakhir untuk membereskan segala macam kebutuhan serta akomodasi dalam rencana mengejar salah satu band favorit sepanjang masa ke Singapura.
Saat itu, tiba pagi hari di Bandara Internasional Changi dengan perasaan cukup berdebar. Watain, putra-putra kegelapan yang kesehariannya dekat dengan berbagai macam kontroversi, dijadwalkan tampil di Ebx Live Space.
Siang pun tidak terasa perlahan mulai redup setelah menyantap beberapa makanan di Maxwell Food Center dan menghabiskan bergelas-gelas bir di Jacky's Beer Garden sampai sekitar pukul lima sore. Meski sedikit gontai, perasaan excited sudah begitu menggebu selama perjalanan menuju Selegie Road, area pementasan yang nampaknya akan lebih terlihat seperti kiamat kecil karena kedatangan Watain.
Setibanya di sana, berita menggemparkan tiba-tiba datang. Kawanan Black Metal Militia yang bersiap menyambut mereka hanya berkumpul di luar venue karena konon izin penampilan Watain dicabut oleh pemerintah Singapura. Kasak-kusuk sebentar mencari kejelasan, valid sudah kalau pertunjukan tidak akan berlangsung.
Gue yang sudah kadung malas memutuskan untuk kembali ke hotel dan dengan sengaja melewatkan sesi foto serta tanda tangan bersama para personil. Kecewa sudah pasti, tapi karena gue sadar benar bahwa unit ini dekat dengan hal-hal yang menyinggung banyak pihak, jadinya tidak heran. Yang disayangkan mungkin hanya karena sudah berada sedekat itu dengan Watain, tapi tidak berakhir seru.
Pandemi kemudian datang selang beberapa bulan kemudian. Kewajiban mengejar Watain di area-area yang sekiranya masih mungkin dijamah, harus dikubur sejenak karena serangkaian urusan domestik yang mesti didahulukan. Satu-dua tahun berlalu cepat, hingga memasuki awal tahun 2022.
Perasaan sumringah bukan main ketika ada nama mereka masuk ke dalam daftar penampil Hellfest, festival musik keras terbaik di dunia, yang sebelumnya juga sempat gue datangi. Tanpa pikir panjang, tiket langsung diamankan dan menabung dengan usaha ekstra tiga kali lipat. Namun, lagi-lagi kesempatan itu harus kandas karena jadwal pengajuan visa di kedutaan Prancis penuh sesak oleh orang-orang yang sudah haus liburan, bahkan dari lima bulan sebelum jadwal keberangkatan.
Fast forward setahun kemudian. Watain mengunggah sebuah poster yang bikin gue kaget nan haru, Superfriends, karena berisi keterangan mereka akan tampil di Jakarta! Senang sekali karena akhirnya kesempatan tersebut datang lagi, dan kali ini di rumah sendiri, Superfriends.
Kemudian gue mencoba melihat jadwal beberapa bulan ke depan.Ternyata ada satu pekerjaan yang mengharuskan gue pergi keluar kota pada minggu ketiga bulan Maret tahun 2023. Kemudian coba mengatur ulang demi bisa berada di front row. Sayang, klien menolak permintaan tersebut. Dalam hati gue merasa kalau memang jangan-jangan sudah takdir tidak boleh menonton Watain.
Waktu terus berjalan sampai memasuki minggu kedua bulan Maret. Kabar baik tiba-tiba datang di suatu siang bolong. Gue yang sebelumnya dijadwalkan pergi mengawal sebuah project, merasa lega ketika membaca surat elektronik yang menjelaskan bahwa pekerjaan tersebut harus diundur hingga bulan Agustus mendatang. F Yeah!
Yang lebih gilanya, tepat di hari yang sama, sebuah pesan masuk ke ponsel, "Hey man, how are you? Do you have some free time next week in Jakarta?" dari Job, salah satu teman di Belanda, yang juga merupakan seorang lighting engineer dari sederet grup black metal kelas satu seperti Abbath, Triptykon, hingga Tribulation. Gue pun menjawab kalau ada rencana menonton Watain yang tidak bisa diganggu gugat sambil menanyakan balik kabarnya.
"I'm coming with Watain to that festival. Are you able to drive us around a bit? We have free time for 2 days before the show. We need to eat all the good food at there," jawabnya lagi. Gue tentu kaget sejenak dan langsung mengiyakan tawarannya tanpa pikir panjang.
(Doc. Supermusic)
Akhirnya setelah mengobrol cukup panjang malam itu, keputusan berakhir pada bahwa gue akan mengajak Watain berjalan-jalan ke Pulau Seribu. Dengan jadwal tampil keliling dunia yang dijalani hampir setiap tahunnya, mereka mungkin mencari sesuatu yang cukup jarang ditemui.
Watain memiliki satu hari kosong sebelum tampil yang bisa diisi dengan menyeberang selama satu jam untuk berjemur dan berbaring di pantai. Maklum, mereka berangkat dari Uppsala, sebuah kota di Swedia yang suhu terpanasnya hanya 23 derajat Celcius.
Sore hari sebelum keberangkatan besok pagi, gue menyempatkan datang ke hotel mereka untuk berkenalan secara langsung. Alvaro Lillo, pemain bass dengan bentukan paling sangar dan sudah bergabung dengan Watain semenjak tahun 2007, duduk di bar dekat resepsionis bersama Hampus Eriksson dan Emil Svensson, dua anggota band Degial yang juga live member Watain mulai dari tahun 2015.
Dari jauh mereka nampak masih kelelahan karena baru saja tiba di Jakarta, plus terjebak macet selama tiga jam dalam perjalanan dari bandara. Namun, sikap yang ramah muncul ketika gue menghampiri untuk menyapa. Bahkan gue ditraktir dua botol bir oleh Alvaro sambil menunggu Job, yang berangkat dengan pesawat berbeda dari Bergen, Norwegia.
Setelah kurang lebih dua jam mengobrol, gue memutuskan pulang dan menyimpan tenaga. Esoknya, gue langsung meluncur ke hotel setelah bangun tepat waktu. Kaget sekali saat melihat mereka sudah menunggu di lobi pukul delapan pagi sambil menenteng berbotol-botol bir dingin dan dua botol besar anggur. Levelnya beda memang kalau masih ada darah viking yang mengalir langsung.
(Doc. Supermusic)
Kami semua lalu pergi ke dermaga di samping Pluit Mall untuk menunggu kapal yang akan menjemput dan membawa ke sebuah resort yang tidak mahal-mahal amat, namun cukup nyaman dan less touristy. Oh iya, di perjalanan singkat ini, Erik Danielsson, sang pemimpin sekte, dijadwalkan baru akan sampai Jakarta sore nanti, sedangkan Pelle Forsberg yang gagah memutuskan beristirahat saja di hotel setelah tiba di Indonesia dua minggu lalu untuk berkeliling Bali serta Lombok, Superfriends.
Job, Hampus, Emil, dan Alvaro tidak mabuk laut. Mereka juga kegirangan sesampainya di Desa Laguna. Meski matahari menyengat amat terik, memesan bir langsung tiga puluh botol tak lama setelah mengamankan daybed adalah keharusan. Sayang, mereka lupa kalau menenggak banyak alkohol di cuaca panas seperti itu dapat menyebabkan sempoyongan ekstra dengan lebih cepat, Superfriends.
Kami membahas banyak hal. Topiknya pun beragam tidak hanya seputar musik ekstrim saja. Nergal dari Behemoth, keadaan pasca pandemi, sepak bola hingga kenapa Ancol ramai sekali pengunjung dalam beberapa hari terakhir adalah beberapa di antaranya. Yang lucu adalah, Emil mengatakan kalau ia sudah sangat tidak sabar untuk segera terjun ke laut, tetapi harus menemukan life guard sekitar untuk memastikan apakah tidak ada hiu dan ular laut, haha!
(Doc. Supermusic)
Gue merekomendasikan beberapa menu makanan laut andalan. Alvaro mencoba lobster sebesar sembilan ons dengan sambal jimbaran yang kemudian membuat mulutnya membara. Begitu juga dengan Job dan Emil, mereka mengatakan kalau udang goreng dan ikan bakar saus dabu-dabu di sini adalah yang terbaik, entah basa-basi atau tidak. Hampus cenderung lebih pendiam, meski beberapa kali kentut karena tidak tahan diterpa angin laut.
Superfriends, keseruan di pulau harus berakhir beberapa jam kemudian. Kami mengambil kapal balik tepat pukul empat sore karena Watain dijadwalkan menghadiri sesi meet and greet dan signing session di venue malam nanti. Keputusan terbaik mengingat kawasan Ancol sangat padat karena Arctic Monkey juga akan tampil di area yang sama.
Sekembalinya ke hotel, kami bertemu dengan Erik di lobi. Ia mengatakan kalau macetnya daerah ini gila sekali dan harus mengajak LO yang menemaninya untuk turun dari mobil dan berjalan kaki saja dari pintu timur Ancol ke hotel, jaraknya lumayan, 1,5 kilometer. Saat mereka bersiap ke venue, gue pulang ke rumah untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang memang sengaja ditunda sejak pagi dan beristirahat.
(Doc. Supermusic)
Superfriends, hari yang dinanti pun tiba. Gue siap menyaksikan Watain langsung dengan mengenakan kaos Disfear, Swedish rule! Dimas dan Toddy (dua kawan dekat), Techa (dari Pelteras dan Amerta), serta Riza (dari Godplant) datang tepat waktu menjemput. Lawless Jakarta Records Hell Crew pun menancap gas dengan kecepatan maksimal agar sampai di tempat pertunjukan tepat waktu.
Ketika beberapa ornamen yang sudah dibakar api mulai dipasang di panggung dan lampu merah menyala dengan logo Watain terpampang kokoh, di momen itulah gue sulit menahan haru. Kelima putra kegelapan muncul satu-satu memasuki altar. Kesan ramah yang gue dapatkan kemarin seketika luntur. Brutal, buas, dan liar, mungkin tiga kata paling tepat menggambarkan penampilan mereka malam itu.
Meski tidak terlalu banyak, setlist yang mereka mainkan cukup gila dan merangkum lagu-lagu terbaik dari album The Wild Hunt, Sworn To The Dark, Lawless Darkness, Casus Luciferi, hingga yang terbaru, The Agony & Ecstasy, komplit dimuntahkan kepada para penggemar yang memang sudah menunggu bertahun-tahun penampilan ini.
Watain bermain rapat tanpa banyak bicara. Mereka menghantam semua orang yang berada di depan panggung dengan power berintesitas tinggi serta aksi panggung yang dijamin membuat bergidik.
Dua lagu terakhir, yang juga kebetulan favorit gue, Nuclear Alchemy dan Malfeitor, menutup penampilan mereka malam itu. Gue yang sudah babak belur karena terjun ke pit, senang bukan main setelah akhirnya berhasil menuntaskan sebuah penantian lama, Superfriends.
Terima kasih Legions of the Black Light, asta la muerte!
ARTICLE TERKINI
0 Comments
Daftar dan Dapatkan Point Reward dari Superlive
Please choose one of our links :