Band rock asal Semarang Sweet Pearl menutup 2024 dengan merilis debut EP mereka The Black Magic Woman. EP berisi 6 track ini adalah kelanjutan petualangan mereka sebagai kelompok yang mengaku “non-machoist-non-masculine rock band”.
Sejak merilis “Bad Night” (Januari 2024), unit yang berisikan Muhammad Syahrul Munir (vokal), Rakha Unfrel Iqbal Hibatullah (gitar), Gilbert Christady (drum), Bagas Humanabiyu (gitar), dan Samuel Hendry Agusta Wawolangi (bass) hadir dengan tema yang sama; pengakuan dosa atas maskulinitas beracun yang kadung menggerogoti diri mereka.
Dalam EP The Black Magic Woman, dosa dan pengakuan itu ditampilkan lebih lugas. Sweet Pearl menjajal cara baru dalam penulisan liriknya. EP ini adalah catatan harian yang menunjukkan pelajaran dan perubahan pola pikir seorang rocker macho.
Dari satu track ke track lain dirajut dalam satu alur cerita. Pendengar akan disuguhkan kisah perayaan hidup rock ‘n roll nan ugal-ugalan dalam “Blaze Blues”, pernyataan sesumbar soal hidup yang tak membutuhkan perempuan karena hanya membuat pelik dalam “Sorcerer” dan “Train”, lalu bergerak ke momen pengakuan dosa dan pernyataan meminta tolong tanda kelemahan batin, tetapi bukan aib dalam “Sinister” dan “Bad Night”.
“Kami hanya ingin menunjukkan kalau cowo itu juga bisa ada nangis, sedih, senormalnya manusia. Kami laki-laki sebagai manusia aja sih sebenarnya. Walaupun sekuat-kuatnya kita, semacho-machonya kita, sebenernya kita tuh juga butuh Perempuan. Toh kita juga dari perempuan” ucap Munir sang vokalis.
Pemilihan tajuk The Black Magic Woman sendiri adalah bagian dari penghormatan mereka atas Santana dan Fleetwood Mac yang memang digemari kelima pemuda ini. Dualisme dalam satu tubuh inilah yang menjadi ciri khas Sweet Pearl. Mereka mendaku rock, tetapi juga gemar menangis.
Mereka percaya pada keseompralan seorang rocker, tetapi tetap unggah-ungguh (tata krama dalam bahasa Jawa). Begitu juga secara musikal. Kegaharan khas Rock 70’s ala Led Zeppelin mereka padukan dengan nuansa flamboyant dan melankolis dalam gaya vocal baru Munir yang mana bisa masuk ke ragam kalangan usia, gender, dan latar belakang sosial.
“EP ini sebenarnya bahan uji coba kami: memadukan sound modern dengan skill kami yang ala kadarnyaa. Sebenernya garis merahnya tetap rock, tetapi kami eksplorasi dengan gaya kami sendiri, karena rock n roll harus abadi. Seperti kata Komunal, rock n roll telah mati kami yang (turut) menyelamatkan,” kata Unfrell, sang pencabik gitar.
ARTICLE TERKINI
1 Comments
Daftar dan Dapatkan Point Reward dari Superlive
Lanyiacs L
26/12/2024 at 22:10 PM