Hujan menyapu seluruh memori yang tersisa dari kota Gudeg, Yogyakarta. Kereta yang lazimnya mirip Commuter line menjadi pilihan utama membawa kami dari Stasiun Tugu menuju stasiun Solo Balapan. Harga yang murah ditawarkan sama dengan fasilitas yang disediakan. Berdiri sembari menanti bangku kosong untuk di sesegera mungkin diisi. Stasiun demi stasiun ekseptasi akan bangku yang ditinggali selalu berputar diotak, namun hari itu bukanlah hari keberuntungan hingga 2 jam berdiri barulah menjelang tujuan bangku baru kosong.
Solo atau yang lebih sering disapa Surakarta menjadi tujuan kami tentu dengan alasan, demi sebuah pengetuan baru, pengetahuan dimana bagi sebagian masyarakat local di percaya sebagai dewi pengetahuan. Tak lain kami ingin mengunjungi candi Cetho yang berada di Karanganyar, lebih extreme lagi kami ingin mengunjunginya malam hari.
Perdebatan muncul diantara kami berempat terkait transportasi yang akan digunakan menuju candi yang terletak di desa Gumeng, Karanganyar di ketinggian 1400 meter dari Kaki Gunung Lawu. Berdasarkan omongan dari mulut ke mulut antara teman di kampus, jalanan aspal sempit, menanjak, terjal, curam dan berkelok-kelok menjadi tantangan yang akan kami hadapi jika ingin kesana. Belum lagi rasa takut berjalan malam hari menuju lokasi dari Solo menuju Kabupaten Karanganyar.
Jam menjukkan pukul 8:00 WIB malam, terlihat hanya taxi dan ojek saja yang ada. Beralasan tak satupun dari kami menghafal jalanan Solo, maka Taxi berbentuk Minivan menjadi pilihan kami menuju salah seorang sepupu di daerah Slamet Riyadi, tak disaksa sepupu dari teman kami menjadi presiden dari Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEM) di Universitas Slamet Riyadi (Unisri), tujuan kesana ialah sambil silaturahmi kami ingin meminjam motor untuk bisa menuju tujuan kenapa kami berada di Solo.
Tak membutuhkan waktu lama, setelah makan dan men-drop barang di Sekretariat DEM UNISRI, dua motor telah siap untuk mengarungi jalanan, lampu motor bersinar, tangki bahan bakar menunjukkan tanda telah terisi penuh dan bersiap berpetualang.
Pancaran Cahaya Dewi Saraswati
Bermodal Global Position System (GPS) yang tersedia di Smartphone terbukti tak terlalu bisa diandalkan, baterai yang sekarat bisa menjadi kendala besar yang ditimbulkan. Itulah yang kami alami, beruntung kami terbiasa dengan ala jadul. Bertanya sana sini hingga tersasar menjadi usaha yang tak terlupakan terlebih lagi motor yang dibawa kadang tak mampu dinaiki dua orang untuk menanjak ke Tujuan. Hingga akhirnya bacaan parkiran candi Cetho menjadi secerah cahaya pembangkit semangat. Mungkin ini arti atau makna dari Cetho, Jelas atau Jernih. Lelahpun tersapu ketika sampai disini pada pukul 02:00 WIB dini hari.
Memasuki lingkugan candi kami disambut harum wangi dupa tentu ini cukup membuat kami sedikit merinding, aroma mistis kental ketika memasuki gerbang candi yang menjadi tempat beribadah penduduk sekitar. Candi yang saat ini menyisahkan 13 teras menurut beberapa anggapan bahkan lebih tua dari peradaban zaman Majapahit. Namun hal terkait masalah tersebut tak menjadi kendala memahami bentuk dan arsitektur punden berundak.
Setelah mengarungi teras demi teras, kami tak kunjung menemukannya, hingga akhirnya lelah dan turun untuk beristirahat sejenak, kebetulan sebelum turun ada penduduk dan kami bertanya letak dari Patung Dewi Saraswati. Ternyata yang kami cari tak berada di Komplek candi Cetho. Hal itu sempat menjatuhkan semangat kami, namun tambahan informasi kembali diberikan letaknya berada 300 meter dibelakangan candi Cetho.
Berjalan kaki menanjak diiringi aroma dupa terus malam hari pula tentu ini pengalaman pertama masuk komplek candi diwaktu yang sunguh tak biasa. Patungnya telah terlihat, suatu petanda kami berjalan pada petunjuk yang benar, rasa bahagia menyentuh wajah kami masing-masing.
Alas kaki ditinggalkan dibawah, seraya memasuki tempat suci. Dinginya udara menyentuh aliran darah, wewangian dupa semakin menyengat. Terdapat sebuah kolam dimana patung yang diyakini oleh penduduk local sebagai dewi ilmu pengetahuan gagah berdiri. Ketenangan muncul dari jiwa raga kami. Duduk sejenak memahami makna kehidupan. Mencari inspirasi untuk semakin menghargai setiap detik kehidupan.
Menyambut Pagi di Candi Sukuh
Bermodal sleeping bag yang membungkus hanya tubuh, kami bermalam di teras rumah warga di dekat candi Cetho, sebelum matahari pagi menyambut motor segera dipacu menuju candi Sukuh yang lokasi tak jauh dari tempat kami. Jalannya relative sama, namun yang membedakan tanjakannya tak begitu curam.
Hanya membayar tiket masuk seharga Rp. 3000,- kita sudah dapat mejelajahi candi yang bangunannya mirip dengan pyramid suku maya di Amerika Tengah. Memasuki teras utama candi, kita lagsung disambut dengan gapura utama. Beragam relief juga tersaji ditempat ini.
Ketiga mengarah ke teras ketiga kita disambut dengan relief yang cukup erotis, seorang pengunjung wanita yang datang mengunjungi terlihat menahan tawa. Memang reliefnya erotis, satu yang melambangkan kejantanan, satunya lagi melambangkan Rahim seorang wanita. Ukirannya yang tertera dibatu cukup detail dibanding candi Cetho.
Sayangnya, kami tak dapat berlama-lama ditempat ini, jarum jam menandakan kita harus segera berangkat menuju destinasi berikutnya yang berada tepat dibawah candi, apalagi kalau bukan air terjun parang Ijo.
Air Terjun Parang ijo
Percikan air terjun begitu menyegarkan, seketika membuat jiwa raga bersemangat kembali. Ingin rasanya langsung terjun bebas kearah air terjun yang memiliki ketinggian 50 M, namun sangat disayangkan persiapan baju ganti yang gak ada sama sekali plus waktu yang tak memungkinkan. Hal tersebut bukan alasan untuk terus memanjakan mata menikmati air terjun yang terletak dilereng gunung Lawu.
Hal yang menarik tak lain adalah harga tiket yang murah, hanya Rp 2.500,- kita mendapatkan suasana yang nyaman plus pemandangan alam serta derasnya air yang turun dari parang (tebing). Sungguh berbeda dengan wisata air yang ada di Jakarta, sudah tiket mahal, buatan pula. Maka sangat disarankan ketika menginjakkan kaki ke Solo dan menginginkan suasana yang alami, tak salah jika mencoba mengunjungi tempat ini.
Menggali informasi dari warga yang menjaga loket, mereka menuturkan air terjun ini terbentuk karena dahulunya ada banjir melanda daerah ini dan menerjang pohon diatara parang. Hilangnya pohon besar yang dianggap keramat menyebabkan aliran air yang awalnya melalui batang pohon kini terjun ke bawah tanpa perantara membentuk air terjun yang dikenal dengan nama Parang Ijo yang berarti berwarna hijau diantara 2 tebing.
Bisa kesini merupakan sebuah kejutan, tak disangka tujuan awalnya hanya ke Candi Cetho, justru mendapat reward menikmati keindahan arsitektur candi Sukuh dan Indahnya air Terjun Parang Ijo. Ini sungguh pengalaman luar biasa sambil mengendarai sepeda motor menikmati keindahan alam tempat ini. Suatu saat ketika kembali lagi kesini, tujuan utama tentu untuk mengekplorasi lebih dalam keindahan alam dan kekayaan budaya yang khas.
ARTICLE TERKINI
1
5 Julukan Unik Pemain Legendaris yang Menghiasi Liga Spanyol
2
Siapa Pengganti Carlo Ancelotti yang Tepat untuk Real Madrid
3
7 Wisata Alam Kalimantan Selatan yang Wajib Lo Kunjungi
4
Waspada, Man United! Nico Williams Tebar Peringatan Buat Leg Kedua
5
Teknik Terbaik dalam UFC! Dari Jiu-Jitsu Hingga Striking Mematikan!
Author :
Article Date : 08/04/2016
Article Category : Wilderness
0 Comments
Other Related Article
1
/
10
Daftar dan Dapatkan Point Reward dari Superlive
Please choose one of our links :