Close burger icon

HELLO THERE, SUPER USER !

Please Insert the correct Name
Please Select the gender
Please Insert the correct Phone Number
Please Insert the correct User ID
show password icon
  • circle icon icon check Contain at least one Uppercase
  • circle icon icon check Contain at least two Numbers
  • circle icon icon check Contain 8 Alphanumeric
Please Insert the correct Email Address
show password icon
Please Insert the correct Email Address

By pressing Register you accept our privacy policy and confirm that you are over 18 years old.

WELCOME SUPER USER

We Have send you an Email to activate your account Please Check your email inbox and spam folder, copy the activation code, then Insert the code here:

Your account has been successfully activated. Please check your profile or go back home

Reset Password

Please choose one of our links :

Saatnya Kebangkitan Art Rock Indonesia?

Judulnya terlalu heboh ya? Biarin lah, biar dibahas dan diomongin haha.

Mungkin judul tulisan ini keluar karena subjektivitas saya sebagai seorang penggemar prog dan art rock. Mungkin di perkembangan musik Indonesianya sendiri juga tidak begitu amat. Lalu kenapa saya bisa merasa bahwa kini kebangkitan musik art rock Indonesia?

Jawabannya ketika melihat kakak saya seorang proghead berusia 52 tahun membeli tiket konser Scaller.

[bacajuga]

Saya adalah anak bungsu dari 6 bersaudara, berisikan 5 laki-laki 1 perempuan. Keempat kakak lelaki saya mengalami era keemasan musik progresif rock dan art rock seperti Genesis, Yes, King Crimson, Asia dan banyak lagi di pertengahan tahun 80-an. Di kamar kakak saya yang pertama, tersusun rapi di lemarinya koleksi rilisan kaset YESS, sebuah ‘label’ tahun 80-an yang banyak merilis kaset bajakan dari band prog/art rock yang sedang booming di luar negeri.

 

(Foto: Kaskus/YUS007 )

Lemari itu menjadi pintu pertama saya soal musik, dan kedekatan keluarga saya dengan progresif rock. Rilisan kaset YESS sedikit banyak membentuk selera anak muda di pertengahan tahun 80-an yang berusaha mencari musik yang lebih maju dan berani.

Musik progresif selalu mendapatkan posisi yang menantang di pasar musik. Dengan durasinya rata-rata cukup panjang, bisa di atas 10 menit. Komposisi yang kompleks, time signature yang berbeda-beda dalam satu lagu, lirik yang terkadang sulit dimengerti seperti membaca sebuah puisi, hingga membutuhkan perhatian yang khusus untuk mengapresiasinya. Penikmatnya mungkin tidak banyak, tapi mereka loyal dan berdedikasi.

Shark Move, Guruh Gipsy, Philosophy Gang Harry Roesli, Giant Step, album Cermin-nya God Bless, Discus, menjadi beberapa nama yang terpikirkan bila bicara tentang musik prog dan art rock di Indonesia.

Meskipun dalam perkembangan karier bermusik saya tidak pernah langsung membawakan progresif rock, tapi saya selalu menyukai sesuatu yang berbau ‘progresif’. Dalam perkembangannya pun, konteks prog rock tidak melulu sekaku pemahaman akan prog rock seperti di tahun 70-an yang melulu mendewakan skill dan instrumentasi.

Jeff Wagner, penulis buku Mean Deviation: Four Decades of Progressive Heavy Metal menuliskan dalam bukunya tentang semangat yang dia tangkap dari para musisi prog metal, “The creator eke out crude blueprints then improve upon them-they discover, experiment, and grow. They deviate.”  Semangat untuk bereksperimen, menemukan kembali hal baru dan keluar dari kebiasaan itulah yang menarik bagi saya sebagai penggemar prog dan art rock.

Perkembangan progressive metal, post-rock, experimental electronic, semua memiliki semangat yang sama dengan musik progresif rock dan art rock terdahulu. Dengan nafas kekinian tentunya. Squarepusher memiliki semangat progresif yang sama di scene electronic, seperti Meshuggah memiliki semangat progresif yang sama di scene extreme metal. Eksperimentalnya John Zorn dan komposisi-komposisi panjang Godspeed You! Black Emperor juga memilki semangat progresif yang sama. Keluar dari kebiasan. Deviation from the norm.

Dan dalam pengamatan saya, kini justru sedang bermunculan band Indonesia yang memiliki semangat berprogres yang sama dalam bermusik, tapi tetap memiliki nafas kekinian. Album Sinestesia menjadi album prog rock-nya Efek Rumah Kaca untuk saya, dengan komposisi belasan menitnya dan judul lagunya yang berkonsep. Untuk saya, Barasuara berhasil mematahkan opini bahwa musik prog rock adalah musik yang diciptakan hanya untuk didengarkan, bukan untuk menari. Tunggu, memangnya Barasuara band prog rock? Secara definisi mungkin tidak. Tapi saya merasakan semangat yang sama. Komposisi lagu yang dinamis, perubahan time signature yang tidak terduga, komposisi suara yang di luar kebiasaan, mengingatkan saya akan King Crimson era Robert Fripp. Atau seperti Sigmun yang membawa semangat Pink Floyd dan art rock-nya ke dalam sound stoner/sludge mereka. Under The Big Bright Yellow Sun, band Bandung beraliran post-rock, sebuah subgenre dari alternative rock yang memiliki kemiripan dengan semangat art rock 70-an akan komposisi panjang dan menghipnotis. Lalu ada Scaller dengan format bertiganya seperti Rush with a female vocalist. Tidak heran kakak saya yang berusia 52 tahun bisa merasa relate dengan Scaller.

Berarti benarkah sekarang adalah masa kebangkitan prog dan art rock Indonesia? Apakah band-band ini bisa disebut sebagai band art rock Indonesia berikutnya? Pada akhirnya, siapa peduli dengan pelabelan prog/art rock atau apapun itu. Yang menarik untuk diamati sekarang ini adalah, band-band ini berhasil membaurkan semangat musik progresif tanpa menjadikan musik mereka terasing dan segmented hanya untuk penggemar prog dan art rock.

Menurut saya, ini juga sebuah kemajuan bagi kancah musik Indonesia. Bahwa musik yang progresif tidak lagi melulu sulit didengar dan tidak bisa dinikmati. Dan sebaliknya, musik populer tidak melulu harus menggunakan pola penulisan lagu standar birama 4/4 terus menerus dalam satu lagu. Mungkin di luar kebiasaan kita dalam menulis dan menikmati lagu. Tapi justru ketika kita keluar dari kebiasaan, baru kita bisa berprogres. Seperti quote dari mbahnya prog/art rock Frank Zappa, “Without deviation from the norm, progress is not possible.

Sebagai penutup, berikut sedikit playlist band prog/art rock Indonesia zaman sekarang versi saya, karena saya yakin band-band ini tidak akan mendefinisikan diri sendiri sebagai band prog rock haha.

1. Efek Rumah Kaca - "Jingga"

Durasi lagunya 13 menit, di tengah lagu ada part membacakan nama para aktivis yang hilang. Judul lagu di albumnya nama warna semua. Kurang prog apa coba?

2. Sigmun - "In The Horizon"

Lagu favorit di album Crimson Eyes. Pink Floyd-esque in a stoner/sludge vibe. Me likey.

3. Barasuara - "Api Dan Lentera"

Lagu yang bisa dipakai hura-hura berdansa, tapi dengan pola penulisan yang menurut saya progresif. Selain perubahan beat yang berani tapi tetap enak didengar, part fill in keyboard di menit 03:31 sungguh sangat prog 70-an, seakan Yockie S. yang memainkannya.

4. Zoo - "Trilogi Peradaban"

Indonesia harus bangga punya band seperti Zoo dan Senyawa. Ekspor budaya yang membanggakan. Baru-baru ini Zoo baru saja melakukan turnya di Eropa dengan mendapatkan sambutan hangat. Ada tiga part dari lagu ini, video ini hanya satu bagian saja. Silakan didengarkan dan siap tercengang. Mas Obet is one hell of a drummer, sungkem!

5. Scaller - "Three Thirty"

Pasti seru memainkan drum lagu ini. Lebih mantap liat video live-nya, lagunya dimulai di menit ke-5.

6. Max Havelaar - "Manusia Pemberani"

Band zaman sekarang dengan para personel yang tidak sekarang-sekarang amat haha. Nuansa post-rock yang kadang ada Marillion-nya. Sebenernya lebih suka lagu “Batas Langit Kita Yang Punya” tapi tidak ketemu link-nya.

 

ARTICLE TERKINI

Author :

Article Date : 14/07/2017

Article Category : Noize

Tags:

#EDY KHEMOD #Seringai #Art Rock #Progressive Rock #SCALLER #Sigmun #Under The Big Bright Yellow Sun #Efek Rumah Kaca #Barasuara #Zoo #Max Havelaar #supernoize

0 Comments

Comment
Other Related Article
image article
Noize

Rudolf Dethu: Muda, Bali, Bernyali

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Noize

Perilaku Individu Musik Indonesia di Era ‘Baby Boomers’ dan ‘Gen X’

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Noize

Yulio Piston: Tentang Menjadi Pengkritik Musik

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Noize

Sudah Saatnyakah Indonesia Punya Rock ‘n Roll Hall of Fame?

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Noize

Acum Bangkutaman: Mencari Band Buruk yang Berpengaruh

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Noize

Berkeliling Eropa Bersama Morgensoll dalam Eternal Tour 2023

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Noize

Pentingnya Paham Soal Hukum dalam Industri Musik

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Noize

Musisi Bertopeng dan Budaya Asalnya

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Noize

Menebak-nebak Masa Depan Vinyl Indonesia

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Noize

Catatan Perjalanan: EHG Forever, Forever EHG!

Read to Get 5 Points
image arrow
1 /

Daftar dan Dapatkan Point Reward dari Superlive