Close burger icon

HELLO THERE, SUPER USER !

Please Insert the correct Name
Please Select the gender
Please Insert the correct Phone Number
Please Insert the correct User ID
show password icon
  • circle icon icon check Contain at least one Uppercase
  • circle icon icon check Contain at least two Numbers
  • circle icon icon check Contain 8 Alphanumeric
Please Insert the correct Email Address
show password icon
Please Insert the correct Email Address

By pressing Register you accept our privacy policy and confirm that you are over 18 years old.

WELCOME SUPER USER

We Have send you an Email to activate your account Please Check your email inbox and spam folder, copy the activation code, then Insert the code here:

Your account has been successfully activated. Please check your profile or go back home

Reset Password

Please choose one of our links :

Barisan garda depan yang terkesan rusuh dengan penonton yang bergoyang ke sana ke mari, bahkan sampai diwarnai adegan crowd surfing, adalah pemandangan biasa pada setiap penampilan unit rock kebanggaan Bandung, The Super Insurgent Group of Intemperance Talent (The SIGIT). Pemandangan lumrah barusan tidak tampak dalam gelaran konser Mythical Men Ensemble, Sabtu (30/7), di Dago Tea House, Bandung. Dalam konser mereka yang ke-empat ini, seluruh penonton diharuskan duduk sepanjang acara. Maklum, ini bukan konser The SIGIT yang seperti biasanya. Malam ini, mereka tampil bersama Falzette Music Orchestra, mengawinkan musik rock dengan orkestra.

Sekali band rock tetap saja band rock. Bagi kami yang biasa menonton The SIGIT sambil berjingkrak-jingkrak dan bernyanyi, rasanya agak canggung menyaksikan The SIGIT dari kursi penonton. Walhasil, tidak sedikit juga penonton yang tak kuasa menahan diri, kursi penonton jadi agak bergetar. Mereka menggoyangkan badan sambil duduk, menghentakan sepatu, dan tentu, ikut bernyanyi bersama. Dari beragamnya cara penonton menikmati konser ini, mereka yang ekspresif ini jadi pemandangan yang bikin senyum-senyum sendiri. Andai saja ada area untuk menyaksikan konser sambil berdiri, hasrat mereka mungkin bakal tersalurkan.

Konser Mythical Men Ensemble dimulai tepat waktu pada pukul delapan malam. Deretan kursi yang diperuntukan bagi para pemain orkestra dari Falzette Music satu demi satu mulai diduduki, disusul dengan sang komposer Idhay Adhya. Suasana yang cukup hening kala itu langsung terpecahkan ketika Rektivianto Yoewono (vokal, gitar) Farri Icksan Wibisana (gitar, synthesizer), Aditya Bagja Mulyana (bass) dan Donar Armando Ekana (drum), nyawa utama dari konser ini, naik ke atas panggung. Tanpa secuil pun sapa, alunan intro “Detourne” mengalun. Sudah memiliki aransemen megah sejak awal, nomor dari album “Detourn” ini kian megah dengan masuknya bebunyian orkestra.

Impresi dingin bermain tanpa basa-basi itu pun akhirnya cair juga, sang vokalis Rektivianto menyapa penonton seusai membawakan lagu pertama. Sapaan dengan selipan humor dari Rekti menjadi selingan selama konser berlangsung. Mereka melanjutkan set dengan “Gate of 15th", “Bhang” dengan penyanyi latar yang membuat lagu lebih seksi, nomor yang ada sejak album mini Self Titled (2004) dirilis “Soul Sister”, dan tembang “Up and Down”.

“Waktu itu, pas nulis pengen banget ke New York. Tapi, setelah mengejar beberapa cita-cita, tur ke mana-mana, ke Australia, ternyata perasaan yang didapat adalah… kangen sambel. Jadi intinya, sejauh apapun itu, semuanya kembali lagi ke… keluarga,” tutur Rekti sebelum membawakan lagu ‘klasik’ mereka, “Live in New York”. Bak lagu kebangsaan, penonton turut bernyanyi bersama beriringan dengan vokal Rekti, nyaris dari awal sampai selesai. Satu pemandangan langka, sang drummer Acil turun dari kursi drum dan maju memainkan tamborin di sisi Adit. Ia pun turut bernyanyi sampai pada bagian di mana drum mesti kembali dimainkan.

Lewat Mythical Men Ensemble, banyak cerita yang Rekti bagi kepada penonton. Salah satunya soal Farri yang ternyata merupakan sosok di balik lagu-lagu cinta dari The SIGIT; “Nowhere End”, “All The Time”, dan “Owl and Wolf”. Dua di antara lagu ini dibawakan secara berurutan seusai mereka membawakan “Live in New York”. Nuansa yang dihasilkan dari musik ala The SIGIT dan orkestra untuk “Nowhere End” dan “All The Time” nyaris sempurna. Hal yang sangat disayangkan adalah visual tengkorak dan petir yang kurang relevan dengan keindahan kedua lagu ini.

Konser ini menjadi lahan dari eksplorasi The SIGIT yang tidak pernah berhenti sejak awal karir mereka. Lagu-lagu yang awalnya mereka jarang bawakan diperdengarkan dalam Mythical Men Ensemble dengan aransemen yang menggugah. Farri yang kini memiliki ketertarikan akut dengan synthesizer pun bisa menyalurkan eksperimennya lewat nomor-nomor dalam lagu ini. Masih dengan gitar yang menggantung di pundaknya, Farri memainkan synth sepanjang The SIGIT membawakan “AM Feeling” dan “Owl and Wolf”. Pada kedua lagu ini, orkestra dan bebunyian synth jadi elemen utama. Less guitar, namun membuat keseluruhan musik jadi kesatuan sempurna—jika sempurna itu memang ada.

Masih dengan Farri di balik synthesizer, Rekti menghampiri ‘lahan bermain’ di sisi kanannya. Ia dan Farri mulai mengombinasikan suara-suara ambience yang perlahan membuat penonton ngeh: mereka meracik intro dari “Conondrum”. Bebunyian synth pun disusul dengan suara biola yang mengikuti melodi gitar dari intro lagu ini, plus suara saxophone dan keseluruhan orkestra. Pada aransemen asli lagu ini, bagian ambience yang kemudian disusul gitar menghentak menjadi elemen yang sulit dilupakan, dan malam ini bagian tersebut digubah secara apik dengan orkestrasi. Jika ada satu momen paling mistis dalam konser ini, maka momen itu terdapat dalam penampilan The SIGIT dan Falzette Music Orchestra ketika membawakan “Conondrum”. Lebih menghantui daripada soundtrack film horror.

Konser telah berlangsung selama kurang-lebih dua jam, mereka menutup set dengan “Cognition”. The SIGIT dan Falzette Music Orchestra menambah durasi lagu dengan selipan musik ala padang pasir. Seolah sedang bermain-main di atas panggung, perkawinan musik klasik dengan rock sangat terasa di sini. “Terima kasih banyak, sampai jumpa lagi!” cetus Rekti. Rentetan lagu-lagu The SIGIT dengan iringan orkestra ditutup sampai di situ. Konser benar-benar berakhir setelah The SIGIT membawakan “Black Summer”, “Clove Doper”, dan “Black Amplifier” sebagai encore, tanpa permainan orkestra.

Simak juga video dokumentasi konser mereka di kanal Superockumentary.

ARTICLE TERKINI

Tags:

#Concert Review #review #The SIGIT #Mythical Men Ensemble

Article Category : Super Buzz

Article Date : 01/08/2016

Supermusic
Supermusic
Admin Music
Penulis artikel dan penggila musik rock/metal yang setiap hari ngulik rilisan baru, liputan gig, dan cerita di balik panggung band legendaris. Gue percaya musik keras itu bukan cuma suara, tapi energi dan gaya hidup. Konten gue disajikan dengan detail dan semangat yang sama garangnya sama musik yang gue bahas. Superfriends yang hidupnya nggak bisa lepas dari riff gitar dan gebukan drum pasti betah nongkrong di sini. Tiap artikel gue bikin biar lo ngerasa kayak lagi ada di depan panggung.

6 Comments

Comment
SARI ASTUTI

SARI ASTUTI

23/04/2025 at 15:19 PM

Concert Review The SIGIT: Kemegahan Larutan Distorsi
Lukman Hakim

Lukman Hakim

14/08/2025 at 14:58 PM

Mantap betul
Julia Margaret

Julia Margaret

14/08/2025 at 23:34 PM

.
Nicolas Filbert Tandun

Nicolas Filbert Tandun

14/08/2025 at 23:45 PM

Impresi dingin
AyuRL Ningtyas

AyuRL Ningtyas

15/08/2025 at 17:13 PM

Cands

Cands

18/08/2025 at 18:17 PM

Kelax
Other Related Article
image article
Super Buzz

The Dare Lepas Single Terbaru yang Berjudul Strangestreetfellows

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Super Buzz

Tampil di Jepang, Isyana Sarasvati Akan Kolaborasi Bareng Mantan Gitaris Megadeth

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Super Buzz

Milledenials Luncurkan Musik Video untuk Single Precious Me dan Feel Any Pain

Read to Get 5 Points
image arrow
image article
Super Buzz

Break Out Day Fest Cirebon Berlangsung Super Seru!

Read to Get 5 Points
image arrow
1 /

Daftar dan Dapatkan Point Reward dari Superlive