Author :
Article Date : 22/06/2018
Article Category : Expert Corner
Kenapa sih pengen mendaki Gunung Raung? Gunung Raung yang berada di Jawa Timur ini memiliki kaldera terluas kedua di Indonesia setelah kaldera Gunung Tambora di NTT. Kaldera kering tersebut memiliki kedalaman sekitar 500 meter dari puncak.
Di dasar kawah tersebut dapat terlihat sebuah gunung yang sering mengeluarkan asap dan sesekali meletus. Letusan terbesar Gunung Raung pernah terjadi pada tahun 1638. Walaupun bukan menjadi gunung yang tertinggi di Pulau Jawa, jika dilihat dari tingkat kesulitannya, Gunung Raung menjadi salah satu dengan jalur terekstrim di Pulau Jawa.
Secara geografis, lokasi gunung ini berada dalam kawasan kompleks Pegunungan Ijen. Gununga Raung merupakan puncak tertinggi dari gugusan pegunungan tersebut. Ada beberapa jalur untuk mendaki Gunung Raung seperti via Kalibaru, via Sumber Waringin, via Glenmore dan via Jambewangi.
Jalur pendakian via Sumber Wringin merupakan satu-satunya yang melalui Bondowoso. Sedangkan ketiga jalur lain ada di Banyuwangi.
Terdapat empat titik puncak jika mendaki via Kalibaru, yaitu Puncak Bendera, Puncak 17, Puncak Tusuk Gigi, dan, yang tertinggi, Puncak Sejati (3.344 mdpl). Para pendaki harus melewati jurang-jurang yang sangat berbahaya.
Untuk itu, pendaki wajib menggunakan peralatan memanjat seperti tali, helm, carabiner, seat harness, prusik dan figure of eight sebagai prosedur keamanan.
Gunung Raung Via Kalibaru. credit photo: Dokumen Pribadi Janatan Ginting
Pendakian Gunung Raung kami mulai dari basecamp Bu Suto. Jaraknya sekitar 30 menit naik ojek dari Stasiun Kalibaru. Edo berangkat dari Jakarta, Ceka dari Bandung, Irwan dari Surabaya dan saya berangkat dari Magetan (perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur).
Kami memilih titik temu di sekitar stasiun Kalibaru. Namun, setelah mengetahui informasi bahwa kereta yang ditumpangi Ceka ditunda, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan naik ojek dengan biaya Rp 30.000 per orang ke basecamp Bu Suto.
Kami disambut baik oleh Bu Suto dan anaknya. Ada Pak Eko juga yang membantu kami mengurus perijinan pendakian waktu itu. Bu Suto banyak bercerita tentang kehidupannya. Setelah Pak Suto meninggal (suami Bu Suto), Bu Suto melanjutkan basecamp yang didirikan oleh Pak Suto.
Katanya untuk mendaki Gunung Raung via Kalibaru, rumah yang dia jadikan basecamp pendakian adalah basecamp pertama yang ada dulu. Sekarang sudah banyak sekali basecamp pendakian via Kalibaru. Selain membuka warung di basecamp, Bu Suto juga menyediakan peralatan memanjat untuk disewakan.
Di sepanjang jalur via Kalibaru tidak terdapat sumber air, setiap pendaki harus membawa air dari kaki gunung. Kami mempersiapkan air dan makanan untuk pendakian selama 3 hari 2 malam. Sebenarnya jumlah hari yang ideal untuk mendaki Gunung Raung adalah selama 4 hari 3 malam.
Karena tidak menggunakan jasa pemandu dan porter, kami membawa logistik pendakian untuk 3 hari 2 malam saja agar beban di pundak tak terlalu berat.
Dari basecamp Bu Suto kami menggunakan jasa ojek sampai Pos 1. Dengan membayar sewa ojek sebesar Rp 30.000, perjalanan bisa lebih hemat sekitar 2,5-3 jam. Jalur yang ditempuh dari basecamp ke Pos 1 berupa perkebunan warga yang didominasi oleh kebun kopi.
Pos 1 sendiri berada di lokasi kebun milik Pak Sunarya. Kalo nyampe di Pos 1 teman-teman bisa istirahat sambil minum kopi di rumah Pak Sunarya, kopi khas Gunung Raung.
Hutan Hujan Tropis Gunung Raung. credit photo: Dokumen Pribadi Janatan Ginting
Dari Pos 1 kami mulai berjalan kaki. Jalur pendakian sangat sepi. Sangat jarang kami bertemu dengan pendaki lain. Perjalanan kali ini agak melelahkan karena tidak menggunakan jasa porter, apalagi dari basecamp yang ketinggiannya dibawah 1.000 mdpl, kami langsung ke Camp 7 di ketinggian 2.541 mdpl untuk bermalam.
Berarti kami harus berjalan kurang lebih 1.500 meter tingginya. Ngebut!!! Iya kami ngebut. Kalo waktu pendakian ditambah lagi menjadi 4 hari, berarti kami harus menambah makanan, bahan bakar dan air mineral di dalam ransel dan itu akan sangat memberatkan beban di pundak.
Langit semakin meredup. Headlamp kami keluarkan sebagai penerang jalan. Tidak jauh lagi, Ceka berkata. Ceka memegang GPS sebagai salah satu alat navigasi kami. "Sekitar 50 m ketinggian lagi kita harusnya sampai di Camp 7", ujarnya.
Kami mempercepat jalan kami walaupun sudah lelah, tapi tiba-tiba semakin semangat ketika mendengar tempat kami bermalam sudah dekat.
Di Camp 7 sudah ada 2 tenda pendaki. Mereka baru saja turun dari puncak Sejati. Setelah mendirikan tenda, masak dan makan malam, kami beristirahat. Malam itu kami manfaatkan untuk beristirahat agar aktivitas pendakian ke Puncak Sejati subuh besok bisa lebih maksimal.
Suasana di Camp 7 berkabut. Namun, di malam kedua, setelah turun dari Puncak Sejati, kami dapat melihat cahaya dari lampu-lampu kota dan bintang-bintang di langit.
Camp 7 Gunung Raung. credit photo: Dokumen Pribadi Janatan Ginting
Berkas cahaya berpendar dari balik pepohonan menyapa kami yang sedang berada diperjalanan menuju Pos 9. Sudah hampir 3 jam kami berjalan dari Pos 7. Sayang sekali kami tak dapat menikmati terbitnya matahari dari batas antara medan hutan dan medan bebatuan.
Namun, sinar mentari yang menembus celah-celah pepohonan menjadi hal yang indah pagi itu. Kami memutuskan untuk beristirahat dan sarapan di Pos 9.
Beristirahat Dan Sarapan Pagi. credit photo: Dokumen Pribadi Janatan Ginting
Gunung Raung memiliki tingkat kesulitan tinggi untuk didaki. Selain harus mengatur kebutuhan air dengan baik (tidak ada sumber air), para pendaki harus memiliki peralatan khusus seperti tali kernmantel, helm, seat harness, carabiner, webbing, dan figure of eight untuk sampai ke puncaknya dan tentunya kemampuan menggunakan peralatan tersebut.
Pos 9 merupakan lokasi terakhir yang biasanya digunakan sebagai tempat berkemah. Tidak jauh dari Pos 9, sekitar 10-15 menit berjalan kaki, vegetasi hutan berubah menjadi bentangan medan bebatuan.
Cuaca pagi itu sangat cerah. Sekitar 100 meter dari batas vegetasi hutan sudah terlihat sebuah knol yang lebih sering disebut Puncak Bendera atau Puncak Kalibaru oleh para pendaki. Di knol/puncak tersebut terdapat sebuah bendera Merah Putih.
Salah satu pemandangan terbaik selama mendaki Gunung Raung ada di knol Bendera karena dari sini kami dapat melihat puncak-puncak menjadi lebih jelas. Namun, tantangan terbesarnya pun dimulai dari titik ini. Mata ku cukup lama tertuju pada sebuah knol/puncak yang biasa disebut puncak 17.
Saya mencoba memperhatikan dari jauh jejak-jejak jalur yang ada di tebing. Berdasarkan informasi yang kami dapat dari Pak Eko, kami tak perlu ke Puncak 17, cukup melipir saja dari sisi kanannya. Setelah berfoto, kami pun melanjutkan pendakian.
Sebelum melipir di knol/puncak 17, terdapat sebuah dinding batu yang tingginya sekitar 5-8 meter. Kami berhenti mempersiapkan peralatan pemanjatan. Untuk melewati dinding batu tersebut kami menggunakan teknik leading (dalam istilah pemanjatan tebing).
Satu orang di depan memasang jalur, kemudian satu orang sebagai belayer yang akan mengamankan leader ketika terjatuh. Setelah melewati dinding batu kami pun melanjutkan pendakian.
Melipir Tebing Jalur Ekstrim Gunung Raung. credit photo: Dokumen Pribadi Janatan Ginting
Selama berjalan melipir puncak 17 kami terhubung dengan sebuah tali, tali tersebut terhubung dengan pasak yang tertanam di sepanjang jalur. Beberapa pasak yang tertanam di pasir tidak tertancap dengan baik dan membuat saya sedikit “was-was”.
Dalam benak saya bertanya bagaimana jika ada yang terjatuh dan pasaknya lepas? Pertanyaan itu membuat saya semakin hati-hati berjalan di depan.
Setelah melewati knol 17, jalur yang dilewati semakin berbahaya. Jalan setapak yang lebarnya hanya sekitar setengah meter yang di sisi kiri dan kanannya jurang menambah keangkeran Gunung Raung.
Kami berjalan bersama-sama terhubung dengan seutas tali dan pasak di tanah menjadi pengaman utama. Tingkat kehati-hatian semakin tinggi karena jika tergelincir sedikit saja bisa menjadi ancaman yang berbahaya.
Setelah Melipir Tebing, Jalur Ekstrim Berikutnya Adalah Jalan Setapak Menuju Puncak Gunung Raung. credit photo: Dokumen Pribadi Janatan Ginting
Akhirnya kami sampai juga di Puncak Sejati (3.344 mdpl) sekitar pukul 12. Rasa lelah terbayar dengan pemandangan kawah yang menakjubkan. Setelah menikmati pemandangan di puncak, kami pun kembali ke Camp 7, kabut seketika menyelimuti perjalanan turun melewati jalur-jalur berbahaya, suasana pun menjadi semakin mencekam.
Kawah Gunung Raung. credit photo: Dokumen Pribadi Janatan Ginting
Perjalanan Turun Dari Puncak Gunung Raung. credit photo: Dokumen Pribadi Janatan Ginting
PERSONAL ARTICLE





Please choose one of our links :