Di awal era 2010-an, gegap gempita indie rock Ibukota cukup mendapatkan sorotan yang gemilang. Ragam musisi berhasil menarik perhatian para penikmat skena. Salah satunya adalah Jirapah. Band indie rock asal Jakarta ini berhasil mengemas karakteristik musik indie rock yang sederhana jadi sebuah eksperimen musik yang cukup memikat dan sulit untuk lepas dari banyak penikmat musik Tanah Air. Maka tidak aneh rasanya jika Jirapah pun berhasil mencuri perhatian penikmat musik dunia berkat karya-karyanya.
Jirapah dibentuk oleh Ken Jenie sebagai sebuah proyek solo. Lagu-lagu awal Jirapah dibuat oleh Ken Jenie di apartemennya di Brooklyn ketika sang musisi menimba ilmu di Queens College. Di negeri Paman Sam tersebut juga Ken Jenie bertemu dengan Mar Galo yang ikut serta bermain bass di dalam Jirapah. Bermukim di New York, Amerika Serikat, percampuran budaya yang begitu dinamis di kota tersebut jadi salah satu alasan mengapa warna musik yang ditawarkan cukup terdengar kaya dan unik.
Duo pendiri Jirapah, Ken Jenie dan Mar Galo juga diketahui terus mencoba menemukan formula eksperimen musik yang tepat baik di dalam maupun di luar studio sambil menimba ilmu di Amerika Serikat. Karakteristik musik Jirapah dikenal dengan sound yang raw dengan nuansa reverb yang kental, serta efek-efek modulasi membantu hadirkan ambient yang cukup kuat terasa.
Lambat laun, Ken Jenie pun mulai mencoba mempelajari software rekaman dan mulai merekam lagu-lagu awal Jirapah yang dibuatnya sebelumnya. Mar Galo dan Max Suriaganda menganjurkan agar Ken Jenie mau untuk memperkenalkan karya awal Jirapah yang sudah direkamnya kepada khalayak yang lebih luas. Tertarik dengan ajakan tersebut, akhirnya karya Jirapah pun lahir.
Proses rekaman karya Jirapah di awal masa berdirinya tidak berhenti di New York saja. Berdasarkan koneksi pertemanan yang dimiliki oleh Ken Jenie pun bertandang ke Washington DC untuk melakukan proses rekaman yang lebih apik. Proses rekaman tersebut dilakukan di kediaman teman Ken Jenie, Daru dan Danur yang ikut serta membantu Jirapah untuk mengisi bagian drum dan bass.
Proses rekaman tersebut melahirkan lagu berjudul 27. Bisa dibilang, dari proses rekaman yang dilakukan lahirnya formasi awal dari Jirapah. Meskipun begitu, formasi tersebut tidak pernah ajeg untuk tampil di atas panggung. Lagu perdana dari Jirapah pun dirilis sebagai sebuah single oleh Tsefula/Tsefuelha Records. Di masa awal pembentukan Jirapah, hanya lagu 27 yang direkam secara bersama-sama. Untuk rilisan lainnya seperti karya di mini album Thank You, Digital 7 Vol. 1, Digital 7 Vol. 2, dan Digital 7 Vol. 4 merupakan karya-karya Jirapah yang direkam secara mandiri oleh Ken Jenie.
Karya-karya Jirapah yang digarap dengan pendekatan kreatif berbeda juga secara tidak langsung memberikan karakteristik yang berbeda pula. Ken Jenie diketahui gemar melakukan ksperimentasi dengan memadukan unsur rock, jazz, psychedelic, afrobeat, hingga krautrock. Hasil karya yang padu tersebut yang berhasil membuat lagu-lagu Jirapah bisa langsung dikenali oleh banyak penikmat musik indie rock.
Di tahun 2019, Jirapah pun akhirnya merilis album penuh perdana mereka berjudul Planetarium melalui Kolibri Records. Album tersebut juga jadi penanda pertama kalinya Ken Jenie menulis lirik dalam bahasa Indonesia secara penuh. Pemilihan bahasa Indonesia diakui oleh sang musisi sebagai bentuk eksplorasi. Menurutnya, suku kata bahasa Indonesia yang cukup banyak jika dibandingkan dengan bahasa Inggris membuat sang musisi kembali mengeksplorasi aspek vokal.
Satu tahun setelah rilisnya album Planetarium, Jirapah pun kembali Jirapah ingin menggubah, sekaligus memaknai ulang lagi dari lagu-lagu yang telah mereka ciptakan sebelumnya yang bercerita tentang terbentuknya hingga berakhirnya alam semesta. Dalam menggubah dan memaknai ulang lagu-lagu yang sempat masuk ke dalam album Planetarium di tahun lalu, Jirapah menghadirkan konsep kolaborasi untuk diaplikasikan ke dalam proyek Re: Planetarium ini.
Untuk proyek Re: Planetarium, Jirapah melakukan kolaborasi bersama Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca dan Tomy Herseta. Dalam proyek ini, Jirapah juga mengajak Natasha Gabriella Tontey dan beberapa penulis musik lainnya untuk merepresentasikan kembali makna yang mereka dapat dari kumpulan lagu di dalam album Planetarium. Representasi ulang ini hadir baik dalam aspek musikal dan visual. Konsep kolaborasi keduanya tersebut akhirnya berkembang menjadi proyek kolaborasi antar disiplin dari musik dan seni visual.
Demi memuluskan perjalanan proyek tersebut, Jirapah melanjutkan proses Re: Planetarium dengan mengundang beberapa penulis musik tambahan, sekaligus Tomy Herseta selaku produser musik dan Natasha Gabriella Tontey yang berprofesi sebagai seniman visual. Jirapah mengakui kolaborasi antara mereka bersama Cholil Mahmud dan Tomy Herseta berhasil melahirkan dua buah karya yang dapat mengundang siapa saja untuk memandang dan membayangkan tentang masa depan alam semesta yang dingin dan kelam. Nuansa tersebut hadir berkat ramuan pengalaman audio yang unik.
Image courtesy of Jirapah
ARTICLE TERKINI
1
Pusakata Bawa Kehangatan ke Intimate Sessions Bogor
2
Sesi Curhat Sampai Ciuman Hangat dari Danilla di Intimate Sessions Sukabumi
3
Intimate Sessions Tangerang Full Dibikin Nyanyi Bareng Pee Wee Gaskins!
4
Asal Usul Nama Air Terjun 86 di Riau, Unik Banget!
5
Grand Opening Superchallenge Superprix 2025 Bakal Digelar Sebentar Lagi! Yuk, Gas Intip Gimana Spektakulernya Sirkuit Mijen Semarang Yang Jadi Venue Seri Pembuka!
2 Comments
Other Related Article
1
/
10
Daftar dan Dapatkan Point Reward dari Superlive
Agus Sungkawa
12/11/2024 at 19:49 PM
DENNY ADHY NUGROHO
07/03/2025 at 10:06 AM