Superfriends, bicara fenomena musik Asia di peta musik internasional sepuluh tahun ke belakang cukup menarik. Kita makin familier dengan musisi Asia khususnya wilayah Timur dan Tenggara yang menjadi penampil utama di festival Internasional.
Dari Indonesia, nama-nama seperti Rich Brian, NIKI, dan Warren Hue, menjadi highlight di Coachella. Di arena musik cadas ada Voice of Baceprot yang mencuri perhatian di Wacken Open Air. Sebelumnya, nama-nama veteran seperti Burgerkill dan Jasad sudah lebih dulu mencicipi festival di Eropa.
Gelombang musik Asia dalam skala yang lebih besar di lanskap musik internasional tidak bisa lepas dari Jepang`dan Korea Selatan. Bagaimana Jepang dengan nama-nama seperti L'Arc~en~Ciel, Mono, atau Church of Misery sudah lebih dulu “menginvasi” barat. Yang terkini ada Crossfaith, Crystal Lake, atau di area yang lebih “underground” lagi kita juga familiar dengan Palms atau Gauze yang sering wara-wiri di Eropa dan Amerika
Dominasi Korea Selatan juga tak terbantahkan, fenomena Korean Wave yang mendunia menghadirkan warna baru dengan dua ikon idol group K-Pop terbesar saat ini, BTS dan Black Pink.
Melihat fenomena tersebut, kesadaran Asia sebagai identitas baru di musik gencar mulai getol dikampanyekan oleh generasi yang lebih mudah. Mengutip dari tulisan feature Irfan Muhamad di popharini.com, yang terkini adalah apa yang dilakukan 88rising dengan menghadirkan statement “ke-Asia-an” mereka secara sadar dan menciptakan anggapan bahwa musik dari “dunia non-barat” adalah sesuatu yang baru, yang menarik, dan harus dirayakan.
Dari sejak pertama hadir, nampaknya Sean Miyashiro dan Jaeson Ma tahu betul, kalau mereka akan menjadikan Asia sebagai sentralnya dan 88Rising sebagai medium “diplomasi” musik Asia di Amerika.
Bicara “diplomasi”, hal tersebut juga yang dilakukan oleh Irfan Muhammad, atau yang lebih dikenal dengan Irfan Popish, melalui Indonesia-Taiwan Pop Bureau. Penulis buku “Bandung Pop Darling” ini kerap berbagi informasi seputar band-band independen Indonesia maupun Taiwan melalui platform sosial media pribadinya. Kali ini ia merangkumnya melalui kanal Instagram @idtw.popbureau.
Saat di tanah air, ia seorang jurnalis media cetak. Hingga saat ini Irfan juga kerap menulis lepas dan feature musik untuk banyak media.
Dengan skala yang lebih mikro dan mandiri, Irfan melakukan “Diplomasi Pop” inisiatif Irfan dengan Indonesia-Taiwan Pop Bureau mencoba memberikan alternatif baru untuk mengenal kancah musik Asia di luar Jepang dan Korea Selatan.
Ia fokus berbagi informasi terkait perkembangan informasi, scene, dan musisi Taiwan. Selain itu Ia juga membangun jejaring bersama komunitas musik di Taiwan, berbagi playlist dan rilisan terbaru, hingga menerjemahkan beberapa informasi rilisan yang ada di Taiwan ke Indonesia atau sebaliknya. Semuanya ia lakukan sembari menempuh pendidikan magisternya di National Yang Ming Chiao Tung University.
(Dokumentasi Irfan Muhammad)
Berawal dari Kebosanan
Kepada supermusic.id, ia bercerita jika semuanya berawal dari kebosanannya dengan musik-musik Inggris dan band-band di Indonesia yang biasa ia dengarkan. Masih dengan genre yang ia suka, dari situ ia mulai digging band-band baru dari Timur tengah dan Korea selatan. Ketertarikannya akan musik Asia cukup besar, ia menuturkan jika band-band Asia itu unik dan sulit dikomparasi dengan musik barat.
“Band Asia itu unik, punya ciri khas. Meskipun indie pop tapi punya cengkok, sulit dikomparasi dengan musik barat yang biasa denger,” ujarnya.
Kemudian, bergesernya pencarian musik Irfan ke Taiwan terjadi jauh sebelum dirinya menempuh pendidikan di sana. Di salah satu kesempatan sebelum pandemi medio 2020, ia sempat berlibur ke Taipei. Di sela-sela perjalanannya tersebut, ia menyambangi salah satu distro Waiting Room yang ternyata adalah salah satu pioneer subklultur di Taiwan.
Ia berjumpa dengan pemiliknya yang bernama Trix yang juga salah satu personel dari dari band indie rock Touming Magazine. Pada kesempatan itu, sang owner merekomendasikan beberapa CD band Taiwan pada Irfan. Dalam pertemuan itu, Irfan juga menjajaki kemungkinan perihal distribusi rilisan dan kesempatan untuk tur bagi bandnya terdahulu, MELT di Taiwan. Hal itu juga yang jadi cikal bakal pengembangan Indonesia-Taiwan Pop Bureau di kemudian hari dan titik masuk jejaring pertemanan Irfan dengan komunitas di Taiwan.
“Waktu ketemu Trix di Waiting Room, awalnya justru hanya menjajaki kemungkinan distribusi rilisan fisik dan kemungkinan untuk MELT tur di sana. Tapi di kemudian hari, justru itu jadi awal mula jejaring pertemanan dengan komunitas di Taiwan,” ujarnya.
Setelah perjalanan pertamanya dari Taiwan, berbekal beberapa rekomendasi, Irfan mulai menggali lebih dalam tentang menggali musik Taiwan di luar Korea dan Jepang. Awalnya, Irfan berfokus pada lanskap Asia yang luas, namun akhirnya ia memutuskan untuk fokus pada skala yang lebih mikro, khususnya Taiwan.
Dengan begitu, melalui platform instagramnya (@bandungpopdarlings), ia pun mulai terkoneksi dengan banyak nama di Taiwan, mulai dari komunitas hingga records label yang ada di sana. Irfan juga mulai banyak berbagi referensi musik-musik dari sana untuk memperkuat jaringan.
“Tadinya mau bikin dengan skala makro Asia. Tapi setelah dipikir, kenapa enggak fokus di Taiwan. Karena enggak akan jadi jaringan yang kuat kalau terlalu makro. Jadi saya fokus di Taiwan,” tambahnya, saat dihubungi melalui telepon.
Selain Waiting Room, berkat internet, Irfan juga mulai terkoneksi dengan Chiching Records. Salah satu label independen terbesar di Taiwan. Ia mulai bertukar buku hingga merchandise dengan Chen sang owner. Chen juga adalah orang pertama yang menemui Irfan selepas karantina ketika mulai pindah ke Taiwan untuk menempuh pendidikan.
Lanskap Musik Taiwan
Taiwan juga menawarkan banyak pilihan soal musik. Meskipun jika dilihat dari demografi genrenya, masih didominasi oleh indie pop/indie rock. Uniknya, sebagian besar dari mereka banyak dipengaruhi warna musik Jepang dan Amerika, bukan Inggris tapi tetap dibalut dengan ciri khas lokalitas Taiwan. Hal tersebut berkaitan dengan sejarah Cina dan Jepang yang panjang dan kompleks.
Ekosistem musiknya pun dinamis, terlihat dari banyaknya komunitas, band potensial, media, hingga festival yang tak pernah berhenti dan organik. Hal yang paling esensial, Taiwan tidak pernah kekurangan venue. Misal, di Taipei sendiri ada sekitar 20-an live house dengan jadwal acara hampir tiap minggu.
“Menariknya, Taiwan ternyata ngasih banyak pilihan. Ekosistemnya berjalan dengan baik. Dari mulai musiknya, komunitas, hingga tempat pertunjukan. Seperti di Taipei, ada sekitar 20 live house berbagai skala dengan jadwal pertunjukan mulai dari mulai tengah pekan hingga akhir pekan. Konteksnya penampilnya lokal, ya. Belum lagi festival ada tiap bulan, di tiap Kota,” tutur Irfan.
Lumbung-lumbung kancah musik sendiri Taiwan tersebar di beberapa kota. Mulai dari Taipei (di ujung utara), Taichung (di tengah), hingga Kaohsiung (di selatan). Beberapa band dari kota-kota tersebut juga sudah familier bagi pendengar Indonesia, di antaranya Sunset Rollercoaster (Taipei) dan Elephant Gym (Kaohsiung)
Selain kantung-kantung yang cukup mainstream, di ranah yang lebih underground, Taiwan juga cukup meriah dengan kolektif punk berjejaring internasional, salah satunya Suck Glue Boyz yang mengokupansi ruang, dengan di bawah kolong jembatan. Tapi, uniknya mereka yang main tetap dibayar professional dari merchandise, karena ada organizer.
Kenapa Indonesia-Pop Bureau?
Ketika ditanya lebih lanjut tentang Indonesia-Pop Bureau? Irfan menuturkan, niatnya adalah sama-sama membuka peluang dan pintu untuk talenta baru. Melihat potensi musik Taiwan dan Indonesia dengan segala keunikannya, sebenarnya kedua negara ini bisa jadi alternatif baru di peta musik Asia selain Jepang dan Korea.
Dalam 10 tahun terakhir Asia menjadi sorotan dunia. Banyak band Amerika diisi oleh diaspora Asia. Belum lagi fenomena 88rising. Selain itu, salah satu keresahan Irfan adalah banyak band di Indonesia yang akhirnya hanya berambisi ke Jepang. Sementara di belahan Timur lainnya, ada arena baru yang potensial dengan ekosistem yang sudah berjalan dengan baik dan bisa dieksplor.
“Banyak band Indonesia yang berambisi ke Jepang dan asal “Jepang” saja. Padahal ada peluang dan potensi baru di Asia timur di luar Jepang yang ekosistem musiknya jalan. Bisa jadi arena baru untuk eksplor,” ujarnya.
Selain itu, menurut Irfan, baginya saat ini ia belum menemukan sesuatu yang baru dari musik barat. Ia memberi contoh seperti The Linda Linda's, bisa dibilang hal yang baru dari musik barat adalah orang Asia. Dan gelombang ini sudah selayaknya di-riding bersama.
Indonesia Taiwan Pop Bureau sendiri menurut Irfan adalah “berkah” internet. Semua berjalan ketika ia dipercaya untuk menjadi bagian dari media Taiwan Beats. Taiwan Beats menawarkan untuk berbagi rilis band-band Taiwan di Indonesia. Akhirnya dipilihlah nama Indonesia Taiwan Pop Bureau.
Melalui platform Indonesia Taiwan Pop Bureau, Irfan membuat playlist berseri yang selalu diisi band Taiwan dan Indonesia berdasarkan genre. Selain itu, ia juga membuat rilis dalam bahasa Indonesia untuk rilisan-rilisan Taiwan untuk dipublikasikan di Indonesia (publicist). Dalam pengembangannya, ia juga berencana untuk membuat tur organizer.
Yang terbaru, kabarnya Ia akan mendampingi Kuntari dan .Feast sebagai LO saat mereka tampil di festival di Taiwan akhir tahun ini.
Meski begitu, pada prosesnya bukan berjalan tanpa kendala. Salah satu kendal memperkenalkan musik Taiwan adalah bahasa.
“Salah satu kendala memperkenalkan musik Taiwan itu adalah bahasa,” tambahnya.
(Dokumentasi Irfan Muhammad)
Respons Publik Taiwan
Berjalan kurang lebih setengah tahun, Irfan banyak berbagi informasi juga seputar band Indonesia di Taiwan. Tidak terbatas pada genre, nama-nama seperti Dirty Ass, Zip, Tabrak Lari, hingga The Paps dan Rub of Rub ia perkenalkan di sana. Khusus dua nam terakhir nyatanya punya sambutan yang cukup meriah, karena lumayan paling relate dengan referensi musikal di Taiwan.
Meskipun, menurut Irfan, banyak dari mereka merespon sangat baik pada band-band Indonesia yang ia referensikan. Banyak dari mereka yang terkejut kalau Indonesia punya banyak band keren yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
“Responnya positif, tanpa perlu mereka tau liriknya, mereka menikmati musiknya. Banyak dari mereka terkejut kalau Indonesia ternyata punya band-band keren seperti nama tadi. Karena mereka biasanya hanya tau, Indonesia itu sebatas penyuplai buruh migran,” ujarnya sambil berseloroh.
Superfriends, apa yang dilakukan dengan Irfan dengan Indonesia Taiwan Pop Bureau adalah inisiatif mandiri yang perlu di apresiasi. Tanpa banyak gimik, ia membuka ruang-ruang kemungkinan dan potensial untuk musisi Indonesia atau Taiwan untuk saling terkoneksi. Bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat banyak musisi Indonesia bisa menjalankan tur di Taiwan atau sebaliknya. Kalau kamu ingin tau lebih banyak tentang apa yang dilakukan Irfan, kamu bisa mampir ke laman instagramnya di @idtw.popbureau.
ARTICLE TERKINI
Article Category : Super Buzz
Article Date : 29/09/2022
6 Comments
Daftar dan Dapatkan Point Reward dari Superlive
Riani El
28/11/2024 at 13:42 PM
AKHMAT KHUDDORI
27/02/2025 at 18:36 PM
Muhamad Saifudin
25/05/2025 at 22:02 PM
Khaeroni Muhamad
29/05/2025 at 14:50 PM
RAJIN SILALAHI
22/09/2025 at 07:37 AM
Heri Suprapto
31/10/2025 at 09:18 AM