Subsonic Eye dan Bedchamber, dua unit indie rock garda depan Singapura dan Jakarta, meluncurkan Balancing Act, sebuah EP split buah dari penghormatan dan pertemanan satu sama lain. Dirilis melalui Kolibri Rekords (dengan rilisan vinyl 7-inci terbatas melalui Big Romantic Records), kolaborasi lintas negara ini menebalkan statement keduanya sebagai dua nama penting di kawasan yang sulit dipisahkan.
Kisah di balik Balancing Act bermula di sebuah konser DIIV di Singapura 2017 silam, di mana kedua band ini pertama kali bertemu. Sejak saat itu, mereka telah berbagi panggung di negara masing-masing, membangun pertemanan yang melampaui batas geografis.
"Kami selalu menjadi penggemar berat Bedchamber," ungkap Subsonic Eye. "Gaya dan musik mereka keren. Kami merasakan kesamaan energi dan bagaimana kami sama-sama menjadikan gitar sebagai inti musik kami. Kami merasa musik Bedchamber dan Subsonic Eye akan selalu terdengar koheren dan saling melengkapi."
Bedchamber pun sependapat, menambahkan, "Perkembangan Subsonic Eye selalu menginspirasi kami. Melihat Subsonic Eye membuat kami terus semangat membuat musik dan tidak sabar untuk menjalani tur-tur berikutnya. Kami sangat menunggu untuk bisa melakukan tur bersama Subsonic Eye."
Balancing Act dibuka dengan "The Bigfoot Trademark Logo" dari Bedchamber, sebuah lagu antemik yang terinspirasi oleh makhluk kriptid, memadukan humor dan komentar sosial. Ketertarikan Smita Kirana pada hal-hal paranormal terpancar dalam liriknya, sementara video musiknya dikemas sebagai sebuah satir tentang penampakan Bigfoot.
Selanjutnya ada "Burner" dari Bedchamber, lagu yang membahas keseimbangan kehidupan kerja dengan sentuhan ironi. "Lagu ini adalah pandangan ironis tentang budaya kerja di mana lembur dinormalisasi dan bahkan diagungkan," jelas Ratta Bill. "Alih-alih menunjukkan kemarahan, lagu ini mengajak Anda menuju penerimaan, menekankan pentingnya istirahat yang cukup dengan harapan kita dapat berjuang di hari lain."
Kemudian Subsonic Eye mengambil alih dengan "Jaded", sebuah nomor reflektif trauma masa lalu. "Saya memiliki masalah kepercayaan dari pengalaman saya dulu," ungkap Nur Wahidah. "Saya merasa ketika sesuatu terasa baik, saya mengalami psikosis dan membayangkan skenario-skenario imajiner untuk membuktikan kepada diri sendiri bahwa hal itu tidaklah demikian. Ini juga terkait dengan 'Not Linear' – di mana saat saya merasa mungkin telah sembuh dari masa lalu tapi kemudian kembali meragukan diri sendiri. 'Jaded' adalah saya yang frustasi dengan diri sendiri, 'Kapan aku akan berhenti merasakan ini? Bukankah sudah terlalu lama begini?'"
EP ini ditutup dengan "Not Linear" dari Subsonic Eye, sebuah lagu antemik yang kembali menyoroti upaya Wahidah menghadapi keraguan yang selalu membayanginya. Dalam video musiknya, mereka menggunakan POV mainan mobil remote control yang menjelajahi Singapura untuk menghadirkan pengalaman merasa kecil.
ARTICLE TERKINI
1 Comments
Daftar dan Dapatkan Point Reward dari Superlive
Nicolas F
08/11/2024 at 23:02 PM