Author :
Article Date : 18/03/2017
Article Category : Wilderness
Seorang tentara berbadan besar dan berbisep kencang memasuki bus dengan lengkah tegapnya, sementara seragam US Army yang dikenakan pun membuatnya semakin berwibawa. Pada lengan kanan seragamnya terdapat badge bendera Amerika Serikat, sementara pada lengan satunya, tersemat badge JSA Panmunjom. Pada sisi kanan celananya terdapat pistol berwarna hitam, sementara pada bagian belakangnya terdapat sebuah radio penyeranta yang kadang berbunyi sendiri.
Pria itu bergerak menyisir bus dari depan ke belakang, sambil menatap tiap penumpang bus. Kaca mata hitam yang dipakainya, justru membuat kami makin segan melihat wajahnya. Pagi itu cerah di mana seharusnya menjadi pagi yang menyenangkan, namun rasa was-was ketika akan memasuki wilayah perbatasan antara Korea Selatan dan Korea Utara, tetap membuat degup jantung saya semakin kencang. Mungkin inilah salah satu pengalaman traveling saya yang paling menegangkan.
“Good morning, everybody.” Sapanya ke kami, “My name is Sergeant Garcia, and I will escort you to JSA today.”
Sambil menumpangi bus yang berjalan kembali, Sersan Garcia bercerita sedikit mengenai wilayah yang akan kami kunjungi pagi itu, yaitu JSA, atau Joint Security Area. Sebuah wilayah yang menjadi batas wilayah antara dua negara serumpun yang masih melakukan ‘perang dingin’ hingga sekarang, yaitu Korea Selatan dan Korea Utara.
Dahulu kala, Korea memang merupakan satu kesatuan di bawah kekuasaan Jepang, hingga pada tahun 1941 dimulailah pergolakan akibat keisengan Jepang menyerang Pearl Harbor yang merupakan markas militer Amerika Serikat yang mengakibatkan makin memanasnya Perang Dunia ke-II antara Pihak Sekutu (Amerika Serikat, Rusia, Inggris, dan Tiongkok) melawan Pihak Poros (Jerman, Jepang, dan Italia).
Beberapa tahun setelah serangan Jepang tersebut, di tahun 1945, Sekutu membalas dengan menurunkan bom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, yang sekaligus mengakhiri Perang Dunia ke-II, dengan berita kekalahan Jepang. Akibatnya, Korea mulai memisahkan diri dari Jepang, dan memulai sebuah tragedi baru bagi rakyat Korea, ketika dipisahkannya Korea Utara dan Korea Selatan melalui sebuah perjanjian pasca perang.
Korea Utara dengan paham komunisnya, dan Korea Selatan dengan kapitalisnya. “With the influence of Russia in the north, and USA in the south, it is like a small scale of world war.” Kelakar Sersan Garcia.
Berikutnya, bus berhenti di depan sebuah bangunan yang merupakan JSA Visitor Center, di mana para pengunjung harus menandatangani sebuah surat pernyataan pertanggungjawaban atas keselamatan pribadi karena memasuki wilayah perbatasan Korea, juga mendengarkan sedikit presentasi mengenai sejarah konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan yang dibawakan oleh Lambert, rekan Sersan Garcia.
Mulai dari sejarah perang, pembagian wilayah Korea Selatan dan Korea Utara dengan membuat Demilitarized Zone (DMZ) sepanjang dua kilometer ke selatan dan dua kilometer ke utara dari batas negara, dibentuknya JSA di dalam DMZ yang dijaga oleh US Army dan tentara Korea Selatan, hingga beberapa kunjungan dari tokoh-tokoh penting dunia seperti George W Bush, dan Hillary Clinton ke JSA. Semua disampaikan dengan bahasa American-English yang sangat cepat dan fasih, hingga membuat saya bertanya-tanya berapa nilai TOEFL dari Lambert ini.
[bacajuga url=61901]
Setelahnya, kami berganti bus resmi milik JSA dan mulai memasuki momen paling menegangkan dalam perjalanan hari itu, di mana kami bergerak menuju perbatasan yang sesungguhnya. “No pictures on the way there.” Perintah Sersan Garcia.
Pada kiri dan kanan jalan, saya menyaksikan beberapa bendera berkibar, yaitu bendera PBB, bendera Amerika Serikat, dan bendera Korea Selatan. Sementara pohon-pohon tumbang, gulungan kawat-kawat berduri, juga sesekali terlihat di jalan menemani endapan salju yang masih menempel di rumput yang mengering. Di depannya lagi, terdapat lapangan golf yang disebut sebagai “The Most Dangerous Golf Course” karena perang bisa meletus kapan saja di sana.
Sebuah tank menyambut kami di pintu masuk JSA, sementara di belakangnya terdapat puluhan tentara sedang berlatih perang di sebuah lapangan kecil, mirip lapangan baseball.
Dari situ, kami menuruni bus kembali, dan diarahkan untuk masuk ke dalam bangunan yang disebut Freedom House. Kami dibagi menjadi dua kelompok yang berbaris di kiri dan kanan tangga. Kami dilarang untuk berhenti berjalan, apapun yang terjadi, juga tidak boleh mengambil gambar ketika berjalan.
Di akhir perjalanan pendek tersebut, akhirnya kami berhenti di hadapan sepasang bangunan berwarna biru muda dengan tiga orang tentara yang berjaga sambil membelakangi kami. Bukan, sepertinya mereka bukan sedang berlatih dance.
Berikutnya, kami mendapat pengarahan kembali dari Sersan Garcia, yang baru 2,5 tahun ditugaskan di JSA. Kali ini tentang bangunan berwarna biru muda yang terdapat di belakangnya. Sebuah bangunan yang bernama Conference Building, tempat pihak Korea Utara dan Korea Selatan berdiskusi tentang apa saja. Sementara beberapa meter di belakang bangunan berwarna biru muda tersebut terdapat bangunan megah berwarna abu-abu kecoklatan yang merupakan bangunan milik Korea Utara.
Di akhir pengarahan, Sersan Garcia mengajak kami untuk masuk ke dalam Conference Building, dan melihat isinya.
Dua buah meja panjang terdapat dalam ruangan, dengan beberapa meja kecil yang menemani kursi-kursi di pinggiran meja. Sementara sepasang tentara berjaga --seorang di sisi kiri ruangan, dan seorang lainnya di ujung ruangan dengan pendangan lurus ke depan. Sepasang tentara berkulit mulus seperti artis Korea yang sering saya lihat di televisi.
Di sinilah batas akhir Korea Selatan dan Korea Utara di mana pengunjung umum bisa memasukinya. Sementara di belakang tentara yang berjaga di ujung, terdapat sebuah pintu yang dapat membawa saya ke Korea Utara. Boleh kok membuka pintu itu dan masuk ke Korea Utara, namun tidak ada yang akan bertanggung jawab atas keselamatan kamu.
Teks dan Foto: Arief Rahman
Please choose one of our links :