Mereka bilang, ada sebuah kampung di atas awan yang bernama Wae Rebo. Sebuah kampung cantik dengan keindahan alam dan keramahan warga, yang selalu memikat siapa saja yang datang berkunjung ke sana. Namun mereka tidak bilang, bahwa untuk mencapainya, tidaklah semudah membicarakannya.
Pada sebuah siang yang sangat terik, saya, bersama tujuh orang teman, dan beberapa pemandu sekaligus porter, sudah siap mendaki Wae Rebo, sebuah kampung yang terletak di balik pegunungan di Manggarai, Flores, pada ketinggian sekitar 1.200 meter dari permukaan laut.
Perjalanan tersebut tidak dapat dibilang mudah, karena kami harus berpindah-pindah moda transportasi, mulai dengan menggunakan mobil sewaan dari Ruteng menuju Dintor, berpindah lagi dengan menggunakan truk lokal menuju Denge, sebelum akhirnya berjalan kaki menuju Wae Rebo sejauh kurang lebih 5 kilometer dengan kondisi trek yang terjal menanjak, menyusuri rain forest di selatan Flores.
Tak masalah, saya memang sudah telanjur terbius pesona Wae Rebo yang diceritakan oleh mereka yang sudah pernah mengunjunginya. Jalan terjal dan menanjak, saya anggap, ah cemen! Saya kan biasa naik-turun mal di Jakarta.
[bacajuga url=61497]
Sebuah anggapan yang langsung saya telan bulat-bulat lagi, begitu kami memasuki trek yang sesungguhnya.
Trek tersebut membawa kami menyusuri kawasan Hutan Lindung Todo Repok yang memiliki luas total sekitar 10.500 hektar, dengan ditemani rimbunnya pohon-pohon liar, dan burung-burung yang bercicitan. Tidak, tidak ada anakonda di sana.
Ada tiga pos perhentian yang harus kami lewati pada perjalanan tersebut, yaitu pos pertama sekaligus titik awal pendakian di Sungai Wae Lomba di mana kami bisa mengambil bekal air minum di sungai, pos kedua yang disebut Poco Roko di mana kami bisa mendapatkan sinyal GSM, dan pos ketiga yang disebut Nampe Bakok di mana kami bisa melihat Wae Rebo dari kejauhan kalau tidak ada kabut. Masing-masing pos tersebut, berjarak sekitar dua kilometer.
Ketika mencapai pos ketiga setelah dua jam lebih mendaki, napas yang ngos-ngosan dan kaus yang bersimbah keringat, sukses membuat saya yang sedikit obesitas ini lebih mirip wet dancer daripada seorang traveler.
Untungnya, sisa trek yang kami harus lalui untuk tiba di Wae Rebo, tinggal trek yang menurun, tanpa adanya tanjakan terjal, yang berganti dengan suara gemericik sungai, hijau vegetasi lumut di bebatuan, dan buah-buah kopi di perkebunan warga yang mulai menguning.
Setengah jam kemudian, setelah melewati sebuah jembatan bambu, tibalah kami pada sebuah pondok kayu yang disebut sebagai ‘Rumah Kasih Ibu’. Di sana, kami harus membunyikan alat musik pukul seperti kentongan, sebagai penanda bahwa kami akan memasuki Wae Rebo dalam damai.
Dengan dipimpin Pak Cornelius, kami bergantian memukul alat tersebut, termasuk Shanti yang memukulnya dengan irama ‘Tepuk Pramuka’. Tok tok tok! Tok tok tok! Tok tok tok tok tok tok tok!
Kami memasuki Wae Rebo dengan dipandu Pak Cornelius, dan ditemani Bang Atus. Mereka mengarahkan kami untuk menuju Rumah Gendang, yang merupakan rumah tertua di Wae Rebo. Di dalam Rumah Gendang –yang dinamai karena di dalam rumah terdapat beberapa gendang yang digunakan untuk upacara adat, kami akan disambut dengan sebuah tradisi bernama Waelu’u.
Waelu’u merupakan sebuah upacara kuno yang dilakukan penduduk Wae Rebo sebagai penghormatan kepada para leluhur sekaligus meminta perlindungan kepada leluhur agar para tamu yang datang diberi keselamatan selama menetap di Wae Rebo hingga pulang ke rumah lagi. Upacara tersebut, dipimpin oleh seorang tetua adat bernama Pak Rafael dan ditemani oleh Bang Marcell sebagai penghubung antara Pak Rafael dan kami.
Setelah upacara yang dilakukan dalam bahasa setempat itu selesai, kami satu persatu menyalami Pak Rafael, memperkenalkan diri, sekaligus meminta izin untuk berkunjung ke Wae Rebo. “Kini, Wae Rebo adalah rumah kalian.”
Sesudah beristirahat sejenak sambil menyesap Kopi Wae Rebo di dalam rumah tamu yang disebut Gena Maro, kami membaur dengan penduduk Wae Rebo. Ada yang mengobrol dengan ibu-ibu tentang bagaimana menumbuk kopi dengan baik, ada yang mengajari anak-anak kecil membaca, juga ada yang bermain bola dengan bocah-bocah di sana, lalu kalah. Iya, itu saya.
Bersama mereka yang selalu ceria, membuat saya merasa lebih bahagia. Hilang sudah pegal-pegal dan penat setelah trekking dua jam lebih, berganti dengan senyuman di wajah. Di Wae Rebo, saya menemukan ketenangan dan kesederhanaan yang tidak pernah saya temukan di manapun.
Sebuah perjalanan menakjubkan untuk akhirnya kembali ke diri sendiri.
Teks dan Foto : Arif Rahman
ARTICLE TERKINI
1
Memilih Striker Arsenal: Mending Mikel Merino Atau Balik Ke Viktor Gyokeres?
2
10 Stadion Terbesar di Indonesia, Udah Pernah Datang Langsung?
3
Motor Street Fighter 250cc: Pengertian, Jenis, dan Rekomendasinya
4
Panduan Gunung Batukaru: Lokasi, Jalurnya dan Harga Tiket
5
15 Rekomendasi Lagu Slow Rock Barat 80–90an Bikin Nostalgia
Article Category : Wilderness
Article Date : 01/02/2017
0 Comments
Other Related Article
1
/
4
Daftar dan Dapatkan Point Reward dari Superlive



.png)
Please choose one of our links :