Yo, Superfriends!
Berapa banyak di antara kalian yang tahu tentang sub-skena pecinta musik rock Jepang di Indonesia? Mungkin bisa dibilang banyak tapi tidak memungkinkan juga ada yang tidak tahu sama sekali. Gue bakal berbagi sama kalian tentang pengalaman gue bermusik di sub-skena tersebut jauh sebelum gue bermain di industri musik secara umum.
Mereka menyebut komunitas ini sebagai J-Indo, terkadang juga disebut komunitas ‘Jejepangan’. Komunitas ini berisi para musisi-musisi Indonesia yang menyukai musik rock Jepang beserta genre lainnya yang juga berbahasa Jepang, Superfriends.
Sewaktu gue kecil, berawal dari sering diputarnya serial animasi asal jepang di pertelevisian Indonesia, banyak orang Indonesia yang tak hanya menyukai anime semata tapi juga menyukai musik yang menjadi soundtrack tayangan tersebut. Gue pribadi dulu suka banget sama lagu-lagu soundtrack serial Samurai X.
Mulai dari menyukai anime, akhirnya penasaran dengan lagu-lagu soundtrack-nya, hingga mulai mencari musisi dari pengisi soundtrack tersebut. Tak jarang band-band bagus gue temukan di sana sebagai salah satu bahan preferensi awal-awal bermusik.
Berbekal cari di internet, gue mulai berseluncur ke genre tersebut. Band favorit gue saat itu adalah L’Arc-en-Ciel. Gue yang saat itu hidup di daerah kabupaten, girang luar biasa saat menemukan komunitas dengan minat yang sama, Superfriends.
Di komunitas J-Indo, musisi-musisi rock-nya cukup beragam. Mengikuti tren yang ada di Jepang, ada musisi dengan style visual kei, oshare kei, casual kei, dan lain-lain. Sempat terjadi polarisasi antar musisinya hanya karena perkara style, namun dewasa ini mereka semakin menerima perbedaan.
Style band-band tersebut ter-influence dari style band yang menjadi panutan mereka. Bahkan banyak dari band tersebut menjadi impersonator dari band Jepang favoritnya hingga manggung di berbagai event bertema Jepang. Tak hanya menjadi impersonator, banyak pula dari mereka yang merilis karya orisinil. Bahkan di beberapa kota ada yang merilis album kompilasi yang dipasarkan di sub-skena tersebut.
Namun tak ada gading yang tak retak, sub-skena ini juga memiliki beberapa kekurangan. Di antaranya adalah bahaya delusi industrinya. Jika kalian adala musisi baru yang mau manggung sana-sini tapi malah “nyasar” ke komunitas tersebut, hati-hati, ya. Bagi mereka yang memang hobi, sih, sah-sah saja, tapi jika tujuannya ekspansi ke industri musik real ya jangan kelamaan main di sub-skena tersebut.
Sorakan penonton saat kalian bawain lagu Jepang favorit mereka sangat meriah, tak jarang itu menjadi candu tersendiri buat band-band performer-nya, Superfriends. Akibatnya jadi jarang di antara para musisinya mau mengedepankan lagu orisinil mereka sebagai jualan utamanya. Nggak bisa salahin penonton juga karena memang kolamnya beda. Tapi yang bahaya kan kalo kalian halu dan ngerasa bahwa itu kolam besar, padahal bukan.
Untuk ukuran fee manggungnya juga nggak terlalu besar dan tidak ada jaminan bisa naik harga setara dengan band di luar sub-skena tersebut. EO-nya cenderung beregenerasi karena berbasiskan event kampus.
Gue dulu sempat jadi juara lomba di sebuah event, tahun berikutnya tiba-tiba jadi line up di event itu, tapi tahun berikutnya tiba-tiba disuruh registrasi lagi jadi band audisi.
Ya, selucu itu. Karena yang menjalankan event dari tahun ke tahun beda angkatan dan nggak ada edukasi juga dari angkatan sebelumnya bahwa band gue pernah jadi salah satu performer utama di sana. Ditambah lagi nggak ada sistem booking agent yang terintegrasi jadi tidak ada klasifikasi untuk menentukan harga antara band-bandnya. Minta fee Rp1 juta/band saja sering dicap congkak. Maklum banget karena ini kolam kecil.
Tapi untuk ukuran kolam kecil, sub-skena Jejepangan ini memiliki crowd yang menyenangkan. Ditambah dengan ramainya cosplayer, kuliner makanan Jepang, DJ spesialis lagu Jepang, idol group dancer, hingga stand pernak-pernik anime membuat setiap event selalu meriah. Sungguh sebuah sub-skena yang berbahaya dan menyenangkan di saat yang bersamaan.
Tahun 2013, gue sempat jadi band impersonator ONE OK ROCK bersama THE GRGTZ dengan alasan susah cari panggung saat itu. Namun pada 2016 gue memutuskan berhenti berkecimpung di sana dan membentuk Saptarasa. Ditambah lagi, demo lagu THE GRGTZ yang gue tulis saat itu tembus 8 besar di kompetisi Supermusic ID Rockin’ Battle. Dampaknya THE GRGTZ mendapatkan kontrak eksklusif sebagai finalis Rockin’ Battle dan sering manggung di berbagai event Supermusic, kami auto-cabut dari sub-skena Jejepangan.
Concern gue, tiap band memang punya visi masing-masing. Namun pilihlah lingkungan yang sesuai dengan visi bermusik lo. Tak dipungkiri gue tetap bersyukur pernah berada di sana, karena dari sanalah gue kenal banyak teman musisi juga. Sub-skena ini memang meriah namun bukan kolam yang tepat untuk kalian yang mau berkecimpung di industri musik nyata. Namun bagi kalian yang benar-benar hobi dengan musik rock Jepang dan kemeriahannya, ini bisa menjadi kolam terjun bebas kalian.
PERSONAL ARTICLE





Please choose one of our links :