Close burger icon

HELLO THERE, SUPER USER !

Please Insert the correct Name
Please Select the gender
Please Insert the correct Phone Number
Please Insert the correct User ID
  • Contain at least one Uppercase
  • Contain at least two Numbers
  • Contain 8 Alphanumeric
Please Insert the correct Email Address
Please Insert the correct Email Address

By pressing Register you accept our privacy policy and confirm that you are over 18 years old.

WELCOME SUPER USER

We Have send you an Email to activate your account Please Check your email inbox and spam folder, copy the activation code, then Insert the code here:

Your account has been successfully activated. Please check your profile or go back home

Reset Password

Please choose one of our links :

Acum Bangkutaman: Menuju Desentralisasi Musik Indonesia

Author : Admin Music

Article Date : 15/12/2022

Article Category : NOIZE

Suatu kali, dalam sebuah wawancara bersama Antara, musisi Jason Ranti berkomentar soal rencana pemindahan ibu kota Jakarta ke Kalimantan. Musisi folk yang populer dengan karya-karya yang sudah digemari oleh banyak anak muda di berbagai daerah di Indonesia ini memberikan pandangan soal pemindahan ibukota dan kaitannya dengan industri musik. 

Menurutnya, relokasi Ibu kota tersebut tidak akan berpengaruh besar pada aktivitas industri musik Indonesia.

"Peredaran musik akibat masalah geografis itu enggak ada karena sekarang musik sudah terdistribusi secara digital," ujar pemilik album Akibat Pergaulan Blues kepada Antara seperti yang ditulis ulang oleh Republika.

Ia pun menyinggung soal konsep sentralisasi pemerintahan yang menjadi patokan sukses terhadap karya musik dan musisi. Menurutnya sentralisasi industri musik sudah berlalu. Saat ini, menurutnya, karena perkembangan teknologi perekaman serta kemudahan distribusi musik digital, sentralisasi industri sudah berlalu.

"Yang pindah ‘kan pusat pemerintahannya, kalau keseniannya tetep saja kan dari orang-orangnya, nongkrongnya juga bakal di tempat yang sama, enggak ngikut kali yah," tutup Jason.

Sentralisasi industri musik Indonesia sudah lama mengakar selama bertahun-tahun di tanah air kita tercinta. Jakarta dan segenap kemajuan yang ada di kota ini adalah biang keladinya. Bagaimana tidak? Variabelnya sudah kita lihat di depan mata. Sejak era 1950-an sampai hari ini, kita melihat semua struktur musik terbesar memang bercokol di Jakarta. Banyak label besar tumbuh, baik label lokal hingga internasional berkantor di Jakarta. Festival-festival musik tahunan yang besar banyak dibuat di Jakarta. Televisi dan radio swasta bergengsi berkantor di Jakarta, begitu pula media-media cetak dan online. 

Dampaknya, banyak musisi yang hijrah dan mencari peruntungan di Jakarta. Tidak sedikit musisi daerah yang akhirnya memindahkan pusat aktivitasnya ke ibu kota. Alasan klasik soal pertimbangan banyaknya demand panggung dan aktivitas musik, promosi dan aktivitas sosialisasi lainnya banyak dilakukan dengan mudah di sini ketimbang di tempat asal. 

Mereka begitu mudah bertemu dengan para label executives, promotor konser, pemimpin media massa hingga manajer venue yang berbuntut kepada kemudahan-kemudahan yang didapatkan dari musik, mulai dari konser, promosi, dan lain-lain. 

Meskipun di satu sisi, musisi seperti Didi Kempot, Superman is Dead, Navicula, Sheila on 7, Shaggydog, Grrrl Gang, sampai Pusakata dan NDX AKA masih setia tinggal di daerahnya. Namun, nama-nama ini bisa dihitung dengan jari, persentasenya masih sedikit ketimbang musisi-musisi yang hijrah ke Jakarta. Meskipun saya tetap mengapresiasi nama-nama di atas yang masih setia untuk tetap beroperasi dari daerahnya masing-masing. 

Maraknya berbagai festival di luar Jakarta menjadi langkah awal bagi tumbuhnya demand akan musik dan musisi dari daerah. Meskipun pada kenyataannya selalu saja tidak murni. Beberapa festival yang digelar di daerah pun masih tetap menampilkan musisi dari Jakarta sebagai magnet untuk menyedot animo fans musik di sana. Ya, tentu saja, faktor cuan menjadi alasan klasik yang akhirnya ketika dilakukan diskursus tentang ini hanya menjadi sekadar debat kusir yang tak berujung. 

Desentralisasi menjadi tema atau semangat yang perlu diusung oleh musik Indonesia. Kita melihat bagaimana industri musik di Amerika hidup dengan musisi-musisi tumbuh di berbagai negara bagiannya. Kita mengenal ‘Seattle Sounds’ yang hanya menjadi milik Seattle. Sementara New York terkenal sebagai kota yang menumbuhkan punk hanya dengan bermodal klab kecil bernama CBGB. 

Di pertengahan dekade 1960-an, California dan San Francisco menjadi ‘Mekkahnya’ musik psikedelik karena banyaknya band yang tumbuh di sana. Meskipun banyak perusahaan rekaman yang berlokasi di New York seperti Columbia Records, Sony, Reprise, dan Warner Music. Namun California tetap tumbuh dengan Universal Music yang berkantor di Santa Monica. Sementara Sub Pop, label yang lengket dengan Nirvana dan banyak aksi alternative rock, tetap bercokol di Seattle, Washington.

Di Inggris ceritanya juga sama, tatkala media musik dan banyak perusahaan rekaman besar bercokol di London, namun di era akhir 1970-an dan awal 1980-an, adalah Manchester yang sempat menjadi ‘kota musik’ di Inggris dengan term ‘Madchester’ dengan melahirkan aksi-aksi papan atas dunia. 

Hari ini ceritanya lebih seru, saat saya mencari perusahaan rekaman di setiap daerah di Inggris lewat mesin pencari, saya mendapat ratusan label dengan beragam nama dan katalog kerennya. Bukti bahwa desentralisasi sebetulnya sudah terjadi dan patut menjadi contoh di industri musik kita. 

Indonesia tentu masih jauh dari itu. Bahkan dengan memindahkan ibu kota sekalipun, saya bisa tidak setuju dengan Jason Ranti bahwa ini tidak semerta-merta memindahkan industri musik lalu berpusat di ibu kota baru, harapannya sih begitu. Namun, Jakarta sudah menancapkan pasak terlalu dalam di sejarah industri musik Indonesia. 

Semangat-semangat ke arah desentralisasi sudah dimulai. Meski dengan kondisi yang saya sudah sebutkan namun beberapa festival khas daerah sudah mulai dibentuk, bahkan dari era 1990-an sampai hari ini. Gig seperti Bandung Berisik, Jogja Brebeg, JogjaROCKarta, atau Parkinsound sampai Rock in Celebes menjadi contoh bahwa ternyata keriaan-keriaan tak hanya milik Ibukota semata. Hadirnya ruang-ruang seperti Post Bloc di berbagai daerah seperti Padang, Medan, dan Solo nantinya akan menjadi elemen pendukung bagaimana musik itu seharusnya bisa megah di daerahnya masing-masing.

Image source: Shutterstock

PERSONAL ARTICLE

ARTICLE TERKINI

Tags:

#acum bangkutaman #Desentralisasi Musik #Ibu Kota #Musik Indonesia

0 Comments

Comment
Other Related Article
image article
NOIZE

Bising tentang Huruf Miring, Ribut Pada Atribut Petik Ganda

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
NOIZE

Arief Blingsatan: Fenomena Cekal-Mencekal Musik dari Masa ke Masa

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
NOIZE

Akbarry Noor: Lima Bintang Pop dari Gen-Z

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
NOIZE

Acum Bangkutaman: Kaos Band adalah Bahasa Pergaulan

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
NOIZE

Acum Bangkutaman: Pentingnya Menghargai Generasi

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
NOIZE

Akbarry Noor: Banyaknya Musisi Memulai Hidup Sehat

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
NOIZE

Arief Blingsatan: Dari Sekadar Main Band Hingga Menjadi Musisi

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
NOIZE

Kilas Balik: Mengunjungi Situs-situs Musik Penting di Paris

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
NOIZE

Yulio Piston: The New Shape Of Jakarta Metal To Come

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
NOIZE

Acum Bangkutaman: Gemerlap Festival, Rapor Merah, dan Harapan ke Depan

Read to Get 5 Point
image arrow
1 /