Momentum diselenggarakannya beberapa ajang hiburekraf (hiburan-ekonomi kreatif) skala besar di Pulau Dewata macam Joyland Festival dan Univlox Live serta Bali Digifest maknanya luas, bukan semata soal bersenang-senang dan bergulirnya kembali perekenomian. Tapi lebih dalam dan mendasar: tentang mempertahankan optimisme, jangan lekas putus berharap, masih ada kilat kilau sinar di ujung terowongan.
Dua festival masif tingkat nasional yang berjalan berbarengan di bulan Maret 2022, Joyland serta Univlox Live, baru saja usai. Sementara dalam waktu dekat di bulan April bakal diselenggarakan Bali Digifest. Jika Univlox yang berlangsung di Puri Bhagawan, Jimbaran, selama satu hari saja mengklaim mampu mendatangkan hampir 3.000 orang, maka Joyland Festival di Taman Bhagawan, Nusa Dua, dengan ukuran hampir setara dan berlangsung selama tiga hari, bukan mustahil jika pengunjungnya lebih dari 8.000 orang.
Sementara Bali Digifest terdiri dari beragam varian acara mulai dari pergelaran musik, konferensi, pameran, lokakarya, penganugerahan piala hiburekraf, hingga mendongeng digital, serta akan berjalan mulai 8 hingga 10 April tentu masuk akal jika diprediksi bakal melebihi audiens Univlox Live dan menyamai gelaran Joyland.
Manja di Univlox. Foto: Agus Devayana.
Kunto Aji di Joyland hari ke-2. Foto: Instagram Joyland Festival.
Masih ada kilat kilau sinar di ujung terowongan. Foto: Instagram Joyland Festival.
Gempita festival sambung menyambung ini tak bisa dipandang enteng. Atau semata disempitkan di soal keterwakilan artis lokal. Utamanya di masa pagebluk macam begini. Riuhnya serbaneka acara, mulainya lagi pesta di sini, parade di situ, dampaknya bagi Pulau Bali dan penduduknya yang notabene paling nelangsa diterjang petaka Corona sungguh signifikan dan mendasar. Keramaian ini menggugah kesedihan beringsut menuju kegembiraan, efeknya psikologis, sisi sanubari digoyang agar kembali riang.
Menurut saya kurang tepat jika buru-buru menyorot tentang representasi bumiputra (baca: Bali) yang divonis terlalu sedikit di acara-acara yang baru saja selesai itu. Fokus lebih bijak kalau diarahkan dulu kepada tumbuhnya optimisme masyarakat Bali, bahwa pandemi sebentar lagi pergi, saatnya move on dari segala melankolia, sebab tulang punggung perekonomian Nusa Seribu Pura yaitu pariwisata sedang menuju pulih. Terlepas dari urgensi membebaskan diri dari ketergantungan Bali pada sektor tamasya, keberadaan ajang hiburekraf ini sangat membantu tumbuhnya kepercayaan diri, bahwa harapan itu masih ada, positif sekali bagi Bali.
Promo poster Bali Digifest di hari ke-2.
Belum lagi jika kita tarik lagi lebih lebar, bahwa festival tak melulu soal para penampilnya, band ini, artis itu. Namun pula tentang para kru produksi. Ketika puspawarna kesemarakan mesti tiarap dulu akibat katastrofe pandemi, yang paling terjengkang itu ya kawanan awak belakang layar seperti tukang gulung kabel, pemasang barikade, asisten tata suara dan kerlap-kerlip lampu. Sementara di strata lebih atas macam biduan, musisi, dan garda depan rombongan lenong, bisa jadi masing-masing masih memiliki tabungan yang cukup bisa membantunya bertahan dari serangan pagebluk. Sementara jajaran kru produksi relatif hidupnya dari hari ke hari serta jumlahnya tak seberapa jika dibandingkan para penampil utama.
Terima kasih atas suguhan optimisme ini. Ayo Bali mari kembali berseri!
Please choose one of our links :